Yesus Lahir, Kesukaan Bagi 'Yang Tersisih' (Lukas 2:1-20)

Oleh : Yosev Tito Pardede, S.Si (Teol.)

Tanggal Posting : 30 August 2013

Pendahuluan

Sudah berabad-abad lamanya dan berulang kali gereja di dunia merayakan Natal. Natal sebagai perayaan kelahiran Juruselamat dalam diri Yesus Kristus ke dunia. Bahkan, dunia yang non-gereja pun jadi ikut-ikutan merayakan Natal. Natal menjadi sebuah perayaan yang tidak lagi dimonopoli oleh gereja. Oleh karena itu dewasa ini, semua orang menjadi berhak merayakan Natal tanpa peduli maknanya.

Dewasa ini dunia merayakan Natal dengan kegiatan-kegiatan yang penuh dengan pesta pora dan tindakan konsumerisme. Natal dirayakan dengan mabuk-mabukan di bar, berbelanja habis-habisan di mal karena ada diskon natal dan barang-barang yang menarik perhatian, atau liburan ke tempat-tempat mewah dan eksotis karena ada diskon natal, dan contoh-contoh kegiatan hedonisme lainnya. Apakah hal demikian adalah makna Natal yang sesungguhnya? Natal menjadi sebuah perayaan relaksasi (liburan) belaka dari aktivitas sehari-hari yang menjenuhkan.

Berbeda lagi bagi gereja atau orang percaya dewasa ini, Natal berarti ada kado-kado natal, ada pernak-pernik natal, ada Santa Klaus, ada makan-makan yang menghabiskan biaya besar, ada pohon natal yang menarik, ada perayaan ibadah megah yang menghabiskan biaya besar. Jika belum ada unsur-unsur natal yang penulis sebutkan tadi, maka orang percaya belum merasakan dan menghayati perayaan Natal memang benar-benar telah tiba. Natal hanya menjadi persoalan tampilan dan kemasan belaka. Apakah hal demikian adalah makna Natal yang sesungguhnya? Natal bukan menjadi persoalan penghayatan iman dan tindakan iman dalam merespon berita kelahiran Yesus.  
 
Pada refleksi yang bersifat pastoral ini, penulis hendak mengupas makna Natal yang sebaiknya orang percaya menghayatinya. Penulis memilih teks Alkitab Lukas 2:1-20 sebagai dasar teks permenungan. Sebab, teks Lukas 2:1-20 memiliki pesan pastoral yang paling kuat untuk menjadi counter culture Natal yang sudah mengalami kekeliruan dewasa ini. Kitab Lukas lahir dari konteks jemaat perdana di mana orang kaya banyak yang sudah menjadi Kristen. “Orang-orang kaya ini kemudian menimbulkan masalah di dalam jemaat. Sebab, mereka cenderung memiliki watak yang egois dan tamak serta mengabaikan keadaan orang miskin. Karena ketamakan itu, mereka berada pada posisi yang berbahaya dan mereka dapat dengan mudah jatuh dari imannya” (http://id.wikipedia.org/wiki/Injil_Lukas). Dengan demikian, rasanya pemilihan teks Lukas 2:1-20 menjadi tepat ketika berbicara tentang pergumulan iman terhadap “yang tersisih”. Sebelum kita menemukan pesan Natal dalam Lukas 2, ada baiknya pertama-tama kita harus merekonstruksi dan manafsir gambaran kisah Natal dalam Lukas 2. Dalam menafsir, penulis menggunakan pendekatan naratif.

  
Rekonstruksi Cerita Natal Versi Lukas

Dalam kesaksian Lukas 2:1-20, kisah kelahiran Yesus diawali dengan latar belakang pemerintahan Kaisar Agustus. Pada waktu itu, penguasa memutuskan untuk mengadakan sensus pajak kepada seluruh warga negara. Dalam rangka sensus pajak, penguasa memerintahkan setiap warganya untuk pulang ke kampung halamannya untuk mendaftarkan diri. Mendaftarkan diri yang berkaitan dengan pembayaran pajak kepada kaisar. Melalui pajak, saat itu orang-orang Yahudi benar-benar diperas oleh penguasa. 

Yusuf sebagai kepala rumah tangga mau tidak mau harus membawa keluarganya mudik ke kampung halamannya di Betlehem, walaupun saat itu Maria sedang mengandung dalam usia kehamilan yang sudah tua. Maka, berangkatlah Yusuf dan Maria menempuh perjalanan yang jauh sekitar 200 km dari Nazareth di Galilea ke Betlehem di Yudea (lihat peta Israel zaman Yesus di Alkitab). Pada saat itu, Yusuf dan Maria berjalan dengan lambat karena Maria sedang hamil tua. Akibatnya, Yusuf dan Maria mungkin menjadi orang-orang terakhir yang baru sampai di Betlehem. Mereka juga pada saat itu sampai di Betlehem pada malam hari.

Sesampainya di Betlehem, tentu saja Yusuf dan Maria tidak perlu lagi mencari-cari penginapan seperti gambaran Lukas dalam Alkitab versi LAI. “………karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Lukas 2:7). Kata penginapan yang digunakan Alkitab versi LAI mengacu pada kata dasar dalam bahasa Yunani, yaitu kataluma. “…….dioti ouk en autois topos en to katalumati” (Lukas 2:7). Pengertian kataluma berarti ruangan atas dalam sebuah rumah. Kata penginapan kurang tepat untuk menjelaskan arti kata kataluma (http://robinhl.com/2011/11/02/no-room-in-the-kataluma/; C. S. Keener, The IVP Bible Background Commentary: New Testament, 194; B. Witherington, “Birth of Jesus,” DJG, 69-70 dalam http://hermeneutics.stackexchange.com/questions/749/why-inn-for-kataluma-in-luke-27). Kata dasar pandoceion dalam bahasa Yunani merupakan kata yang paling tepat untuk diterjemahkan sebagai penginapan. Penulis Lukas menggunakan kata pandoceion dalam Lukas 10:34. “kai proselqwn katedesen ta traumata autou epicewn elaion kai oinon epibibasas de auton epi to idion kthnos hgagen auton eis pandoceion kai epemelhqh autou” (Lukas 10:34).

Pada zaman Yesus lahir, bentuk rumah terbagi dua lantai. Ruangan atas (kataluma) berfungsi sebagai kamar tidur, ruang makan dan ruang pertemuan (lihat Mar. 14:14; Luk. 22:11). Sedangkan ruangan bawah adalah tempat tuan rumah ataupun tamu menaruh kasut sebelum naik ke kataluma, menyimpan perlengkapan-perlengkapan rumah tangga dan menyimpan hewan peliharaan. Jadi berdasarkan Lukas 2:7, Maria melahirkan bayi Yesus bukan karena tidak ada penginapan, melainkan tidak ada tempat untuk mereka di ruangan atas (kataluma). Lagipula, jika Betlehem sebagai desa kecil di Yudea adalah kampung halaman Yusuf, maka tidak mungkin Yusuf tidak memiliki sanak saudara di sana sehingga ia harus repot-repot mencari penginapan. Gambaran paling logis saat Yusuf dan Maria tiba di Betlehem adalah mereka hendak menginap di rumah salah satu sanak saudaranya.
   
Akan tetapi, kataluma rumah saudara dari Yusuf itu sudah penuh dan sesak oleh sanak saudara lainnya yang lebih dahulu datang. Yusuf dan Maria tidak mendapatkan ruang di dalam kataluma karena mereka datang paling akhir. “…tidak ada tempat bagi mereka di ruangan atas (kataluma)” (Lukas 2:7). Padahal, Maria yang sedang hamil tua telah tiba waktunya untuk bersalin. Tidak banyak pilihan bagi Maria saat itu, ruangan bawah dalam rumah adalah pilihan paling logis bagi Maria yang sudah terdesak untuk bersalin.

Jika rumah itu memang rumah dari sanak saudara Yusuf, selayaknya Maria tunangan dari Yusuf melahirkan di ruang istirahat saudaranya di kataluma? Mengapa Maria harus melahirkan di ruangan bawah? Sebab dalam sopan santun yang kita tahu, jika rumah itu adalah rumah sanak saudara Yusuf, selayaknya sanak saudara Yusuf keluar terlebih dahulu dari kataluma dan membiarkan Maria melahirkan di kataluma karena lebih nyaman dan lebih manusiawi. Menurut penulis, hal tersebut berkaitan dengan proses bersalin yang mengakibatkan Maria berdarah. Dalam adat istiadat Yahudi darah yang keluar dari tubuh adalah najis. \\\"Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seorang perempuan bersalin dan melahirkan anak laki-laki, maka najislah ia selama tujuh hari. Sama seperti pada hari-hari ia bercemar kain ia najis.” (Imamat 12:2; bdk. 15:19-28). Padahal, seluruh sanak saudara sedang ber-silahturahmi satu dengan yang lainnya di kataluma. Jika mereka terkena darah dari proses bersalinnya Maria, seluruh sanak saudara Yusuf dapat menjadi najis dan merusak suasana keakraban di kataluma tersebut. Maka, Yusuf dan Maria sebagai anggota keluarga yang masih muda harus terpaksa mengalah dengan keluarga besar. Akibatnya, Maria harus bersalin di ruangan bawah, tempat yang sangat sederhana sekali. Dengan demikian jika kita melihat Lukas 9:58, Yesus lahir ke dunia pertama-tama sudah disisihkan oleh keluarga besarnya sendiri. Yesus kemudian lahir terbalut kain lampin dan dibaringkan di palungan. Yesus lahir di tempat yang sederhana di ruanngan bawah rumah keluarga Yusuf. Jadi, Tuhan Yesus tidak lahir di kandang domba dan di penginapan.
   
Pada waktu yang hampir bersamaan di sisi lain daerah Betlehem, ada gembala-gembala yang sedang menjaga kawanan ternak di malam hari. Para gembala bukan kelompok yang secara sosial ekonomi dianggap penting. Para gembala seringkali digambarkan sebagai orang-orang dengan perangai kasar dan tidak taat aturan dalam masyarakat. Mereka dianggap tidak dapat dipercaya, sehingga mereka tidak diperbolehkan bersaksi di pengadilan. Mereka sering dituduh sebagai pencuri karena seringkali menggembalakan domba-dombanya di ladang milik orang lain (B.J. Boland 2008, 54). Jadi, gembala tidak boleh masuk ke ruang suci Bait Allah, bersama dengan penderita kusta dan orang buangan lainnya. Mereka adalah gambaran kelompok yang terpinggirkan, atau kelompok marjinal
(http://www.sahabatsurgawi.net/dremaja2009/derap_desember0410.html). Oleh karena itu, kita bisa memahami kata pertama yang diucapkan para malaikat adalah: \\\"Jangan takut!\\\". Perkataan tersebut menjadi penghiburan bagi para gembala dari sikap yang rendah diri karena mengalami pengucilan dan diskriminasi.

Lalu malaikat Tuhan menghampiri mereka. Malaikat Tuhan mengabarkan kabar sukacita  akan keselamatan banyak orang karena kelahiran Sang Juruselamat di Betlehem. Kemudian para gembala itu berangkat ke Betlehem untuk menemui Yesus. Mereka bertemu dengan Yesus, Yusuf, Maria dan seluruh kerabat Yusuf. Lalu mereka menginformasikan seluruh kabar sukacita yang dikabarkan malaikat surgawi, bahwa bayi Yesus akan menjadi Juruselamat. Seluruh kerabat Yusuf keheranan tidak percaya, tetapi Maria memercayainya dan merenungkannya dalam hatinya. Sebab, dari awalnya Maria sudah diberitahu Malaikat Tuhan bahwa ia akan mengandung Yesus Kristus.   
  
Pesan Natal

1. Allah Berpihak kepada Kehidupan

Berdasarkan kisah Natal di atas, kisah kelahiran Yesus hendak memberikan pesan kepada kita bahwa Natal adalah sebuah perayaan kehidupan. Kelahiran bayi, entah itu manusia atau hewan, dan tunas tumbuhan (bdk. Yesaya 11:1) merupakan simbol bahwa kehidupan belum berakhir. Kehidupan masih terus berlanjut karena kehidupan baru lahir ke dunia. Kehidupan baru itu masih suci tanpa cacat, dan siap mewarnai masa depan dunia yang lebih indah. Dengan demikian, kehidupan baru itu juga memberikan harapan bagi kehidupan dunia ini. Kelahiran bayi Yesus (bukan sembarang bayi) yang dikabarkan para malaikat sebagai Juruselamat tentu menjadi harapan besar bagi dunia.

Kelahiran Yesus sebagai Juruselamat juga mengindikasikan bahwa Allah berpihak kepada kehidupan. Allah lebih memilih hadir ke dunia untuk menebus dosa dunia dan memelihara dunia daripada Allah menghukum dunia karena kecemaran dan dosa dunia. Dengan demikian, relasi Allah dengan manusia dan ciptaan lainnya menjadi pulih karena keberpihakan Allah kepada kehidupan. Manusia dan ciptaan lainnya mengalami hidup yang baru.

Hidup baru berarti hidup bersama dengan Kristus. Hidup bersama dengan Kristus berarti manusia hidup dalam rahmat Tuhan dan mengusahakan tanda-tanda syalom Kerajaan Allah. Salah satu tanda Allah berpihak kepada kehidupan adalah Allah mengasihi dan peduli terhadap yang tersisih. Maka, kehidupan ciptaan Tuhan di dunia menjadi utuh dan tetap lestari. Mari sejenak kita membayangkan apa dampaknya jika Allah hanya berpihak kepada para pemenang, penguasa, orang yang kuat, orang yang kaya yang kuantitasnya lebih kecil dibandingkan orang-orang miskin, lemah, hina dan tersisih? Mungkin kita dapat membayangkan neraka dunia yang berujung kehancuran dan kematian semua karena maraknya aktivitas korupsi, ketidakadilan, angka kematian yang tinggi, bullying, pelecehan, diskriminasi, eksploitasi karena ketamakan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.  

Kita dapat melihat gambaran keberpihakan Allah kepada yang tersisih dalam kisah malaikat Tuhan yang menyampaikan berita sukacita natal kepada para gembala. Padahal, para gembala dalam masyarakat Yahudi adalah kelompok masyarakat yang hina, kecil dan lemah. Bahkan, Allah juga menyediakan ruang bagi mereka untuk dekat bersama dengan bayi Yesus yang kudus. Undangan Allah kepada para gembala untuk mendekat dengan bayi Yesus berarti Allah mengangkat martabat mereka dari yang hina, kecil dan lemah menjadi kudus dan berharga di mata Tuhan. Jadi, ada usaha ilahi untuk meraih “yang tersisih” menjadi berharga, utuh dan pulih. Lalu dalam konteks kehidupan kita sehari-hari siapakah yang termasuk “yang tersisih” tersebut?

2. Allah Berpihak kepada yang Tersisih

a. Alam atau Lingkungan Hidup

Penulis melihat alam atau lingkungan hidup menjadi aspek “yang tersisih”. Ada banyak aspek dari alam atau lingkungan hidup yang bisa kita pantau karena kurang diperdulikan oleh manusia. Allah memelihara alam dan segala isinya, tetapi manusia dengan arogannya merusak ciptaan Tuhan.

Kita tak perlu melihat contoh-contoh yang jauh ke konteks daerah lain. Kita bisa melihat ketersisihan lingkungan hidup dalam konteks Bekasi. Masyarakat Bekasi menghadapi masalah sampah, ketiadaan udara yang bersih dan air yang bersih.  Sampah semakin menumpuk karena sampah-sampah pembuangan dari Jakarta yang jumlahnya besar. Belum lagi sampah-sampah dari Jakarta diperparah dengan tambahan sampah-sampah dari masyarakat Bekasi sendiri.

Bagi masyarakat Bekasi, udara bersih juga menjadi langka karena polusi kendaraan bermotor yang jumlahnya besar dan polusi udara dari sampah-sampah dan pabrik-pabrik. Air bersih pun menjadi langka karena sungai-sungai tercemar. Indikasi lainnya adalah masyarakat lebih sering mengkonsumsi air kemasan dibanding air tanah. Hal ini berarti ketiadaan rasa percaya masyarakat terhadap air tanah yang bebas polusi.

Maka pada tahun 2012 ini, kita dapat memahami mengapa Bekasi mendapatkan penghargaan dari pemerintah Indonesia sebagai kota metropolitan terkotor di Indonesia (http://m.okezone.com/read/2012/06/14/337/647529/walhi-penghargaan-adipura-hanya-sekedar-seremoni). Kebijakan pemerintah untuk menjadikan Bekasi sebagai tempat pembungan sampah (TPS) akhir adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada kehidupan. Persoalan sampah, rendahnya kualitas air dan udara yang bersih mengancam kesehatan dan ketahanan hidup manusia, khususnya masyarakat Bekasi. Penanganan masalah sosial ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah, melainkan juga tanggung jawab dan panggilan orang-orang percaya (gereja) yang berpihak kepada kehidupan.

b. Sesama Manusia

Sesama manusia yang marjinal, kecil dan lemah adalah sesama manusia yang tersisih. Dalam refleksi yang singkat ini penulis membatasi dua contoh sesama manusia yang termasuk kategori kelompok marjinal, kecil dan lemah. 

Anak-anak jalanan
Ada banyak stigma-stigma negatif masyarakat yang melekat terhadap profil mereka. Stigma-stigma negatif masyarakat terhadap mereka itu yang membuat mereka menjadi terkucilkan di masyarakat. Salah satu stigma dari masyarakat yang melekat kepada anak-anak jalanan adalah anak-anak yang suka tawuran. 

Kita dapat melihat, kehidupan anak-anak jalanan memang sangat keras. Pola hidup mereka selalu berisiko tinggi mengarah kepada kematian. Mulai dari pola hidup yang penuh kekerasan, bahwa segala masalah dalam hidup harus diselesaikan dengan kekerasan. Mereka memandang dunia itu penuh ancaman, sehingga hidup mereka selalu penuh dengan ketegangan. Pada bulan Agustus 2012 yang lalu di Kota Tua, penulis menyaksikan seorang anak jalanan harus bersimbah darah tertusuk pisau karena bertengkar dengan anak jalanan lainnya yang menggoda kekasihnya.

Allah yang berpihak kepada kehidupan dan kepada orang tersisih dalam konteks masalah ini berarti orang-orang percaya dipanggil Tuhan untuk memberikan kesadaran kepada anak-anak jalanan bahwa dunia yang diciptakan Tuhan ini tidak melulu mengancam. Dunia memiliki aspek yang baik juga. Bahwa, setiap masalah tidak melulu harus diselesaikan dengan kekerasan. Ada cinta sebagai solusi.

Orang-orang miskin
Berdasarkan data Global Hunger Index tahun 2012, angka kemiskinan di Indonesia adalah 12,5 persen (http://politik.kompasiana.com/2012/06/24/angka-kemiskinan-2003-dan-2012-sama-saja-apa-kabar-pak-sby-472047.html). Angka kemiskinan 12,5 persen dalam sebuah negara berdasarkan metode penghitungan statistik Global Hunger Index termasuk angka kemiskinan yang tinggi dan perlu keseriusan untuk segera ditanggulangi (http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/ghi09.pdf). Data statistik tersebut mengindikasikan bahwa masalah kemiskinan menjadi masalah serius di Indonesia. Orang-orang miskin, kurang gizi, pengangguran, rendah kualitas hidup layak/manusiawi masih besar jumlahnya di Indonesia. Bahkan dalam konteks Bekasi sendiri, kemiskinan menjadi masalah serius karena ketersediaan lapangan pekerjaan dengan pertumbuhan penduduk, baik dari kelahiran maupun dari arus urbanisasi, tidak sebanding adil (http://www.businessnews.co.id/headline/pr-buat-pemkot-bekasi.php).

Kita tidak dapat menutupi masalah kemiskinan. Masalah ini benar-benar ada di depan mata dan menjadi kenyataan hidup yang dekat. Kita bisa menyaksikan kemiskinan dalam banyak manifestasinya dalam setiap langkah kita di Indonesia ini. Masalah kemiskinan bukan pekerjaan rumah pemerintah semata. Kemiskinan adalah pekerjaan rumah dari gereja dan orang-orang percaya secara personal juga. Sebab, Allah berpihak kepada mereka sehingga kita sebagai umat-Nya dipanggil untuk berpihak dan peduli kepada orang-orang yang miskin. Ketika orang percaya menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang-orang miskin karena ketiadaan pekerjaan (pengangguran), maka orang percaya tersebut sedang menyambut kelahiran Yesus. Sebab, orang yang mendapatkan pekerjaan tersebut, mampu melanjutkan kehidupan yang lebih manusiawi. Artinya, kehidupan masih terus berlanjut, tidak mengarah kepada kehancuran dan kematian. Ketika orang percaya memberi makan orang-orang yang kelaparan, maka sebenarnya orang percaya itu bukan hanya sedang merayakan kehidupan, melainkan juga sedang memberi makan bayi Yesus. Mari bayangkan air susu Maria kering dan bayi Yesus tak mendapat gizi yang cukup, tak mungkin ada Sang Juruselamat tersebut! Ketika orang percaya membangun rumah bagi orang-orang miskin agar hidup manusiawi, sesungguhnya orang percaya itu sedang membangun palungan yang layak bagi bayi Yesus beristirahat dalam damai.

3. Penutup

Kehidupan “yang tersisih” adalah kehidupan dan nafas bagi Yesus. Ketika bayi Yesus hidup berarti kehidupan dan syalom bagi seluruh ciptaan di dunia ini. Oleh karena itu, sepantasnya orang percaya dalam tindak tanduk kehidupannya meneladani sikap keberpihakan Allah kepada kehidupan dengan cara peduli terhadap “yang tersisih”. Hidup bersama secara utuh dan penuh kasih dengan semua ciptaan sehingga bersama-sama hidup sebagai dampaknya. Selamat merayakan Natal. Selamat menghayati keberpihakan Allah kepada kehidupan yang ditandai kepedulian dan cinta terhadap “yang tersisih”.