Rabu Abu: Upaya Mengembalikan Tanda Pertobatan
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Tanggal Posting : 06 November 2013
Sebagai anggota keluarga yang dibesarkan di lingkungan gereja etnis, ritual Rabu Abu tentu bukan hal yang lazim. Namun manakala mulai mendalami bidang teologi, penulis sulit menghindari orang-orang dekat yang mempertanyakan makna ibadah Rabu Abu.
Sebetulnya, Rabu Abu bukanlah baru muncul pada zaman Gereja Katolik Roma semata. Zaman Perjanjian Lama telah menggunakan abu dalam liturgi. Abu adalah lambang perkabungan, kefanaan, serta pertobatan. Lihat saja dalam kitab Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est. 4:1). Demikian juga Ayub menyatakan penyesalannya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb. 42:6).
Makna Abu dari Waktu ke Waktu
Dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka, meskipun mereka telah menyaksikan mukjzat-mukjizat dan mendengar kabar gembira. Kristus berkata, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu" (lihat Mat 11:21).
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya De Poenitentia , Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarawan Gereja Perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya Sejarah Gereja bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Dalam masa yang sama, imam akan mengenakan abu ke kepala setelah pengakuan orang-orang yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum,.
Dalam abad pertengahan (setidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu." Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, "Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?" Pertanyaan itu akan dijawab orang tersebut dengan, "Saya puas." Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan masa Pra-Paskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan Rabu Abu ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, "Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal masa Pra-Paskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama masa Pra-Paskah." Setidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Pra-Paskah. Di sinilah kita semua mengingat ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Dalam perayaan Rabu Abu, umumnya dipergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, "Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu," atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil."
Kendati sekarang ini masa Natal, masa Pra-Paskah tanpa terasa akan segera tiba. Guna menyambut Paskah, patutlah kita mengingat makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, mati dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam baptisan/pengakuan percaya, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Kita pun menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu. Kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di sorga kelak. Pada intinya, kita mati dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.
Antara Ritual dan Perilaku
Perayaan Paskah dewasa ini telah dirayakan “nyaris” sama dengan perayaan Natal. Jika Natal penuh dengan sukacita, Paskah kerap melambangkan dukacita sekaligus sukacita atas kemenangan. Perayaan Paskah selalu diwawali dengan Pra-Paskah, namun Rabu Abu sebagai awal dari masa Pra-Paskah cenderung terlupakan (dan terabaikan? – red.), sekalipun sesungguhnya Rabu Abu merupakan ritual pertobatan dan pengakuan kefanaan umat manusia yang esensial.
Masa Pra-Paskah selama enam minggu merupakan masa pembentukan karakter baru sebagai buah dari pertobatan. Sangatlah disayangkan, apabila masa Pra-Paskah kehilangan momentum awalnya untuk bertobat dan mengakui kepapaan manusia. Umat akan dapat melakukan pelatihan pembentukan karakter baru dan menghilangkan karakter (perbuatan keberdosaan) lama, hanya jika telah mengakui adanya pelanggaran dan ketidaksesuaian perilakunya yang lama dengan perilaku yang dikehendaki Tuhan. Tanpa pengakuan dan pertobatan tersebut sulit bagi umat untuk memaknai masa Pra-Paskah. Paskah harus dimaknai sebagai sebuah kemenangan karena terbebas dari keterikatan dengan dosa. Sebagaimana umat Israel yang terbebas melewati kematian anak sulung (Kel. 12:23) ataupun mereka dapat melewati laut Teberau dengan selamat.
Dalam ritual Rabu Abu pengakuan dosa menjadi sentral. Kalimat "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil," saat memberikan tanda salib di dahi seyogianya merupakan klimaks dari pengakuan umat atas dosa dan kesalahannya. Tentu tidak ada yang dapat mengatakan bahwa saya tidak berdosa sehingga tidak perlu untuk bertobat. Karena jika demikian pastilah kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita (1 Yoh. 1: 10).
Pertobatan Seperti Apa?
Yang seharusnya kita lakukan adalah mengakui dosa dan kesalahan kita satu persatu dan bukan secara global. Tentu kecenderungan kita untuk mengakui dosa kita secara global, misalnya: Tuhan, kami telah berdosa kepada-Mu baik melalui pikiran ucapan maupun perilaku kami. Pengakuan seperti ini tentu dapat menjadi sarana yang aman bagi kita untuk menyembunyikan kesalahan dan dosa kita yang sebenarnya. Akibatnya, dosa yang telah kita perbuat tidak pernah dibereskan secara menyeluruh dan total di hadapan Allah.
Pengakuan dosa dan kesalahan kita secara rinci kepada Allah, akan membuat hati kita hancur dan kita merendahkan diri di hadapan-Nya, jauh dari argumentasi teologis untuk membenarkan diri. Hati yang hancur sudah barang tentu hati yang dipenuhi dengan kejujuran, dalam hal ini Allah berkenan kepada orang yang rendah hati dan jujur dan remuk jiwanya.
Daud seorang Raja yang sangat berkuasa telah memberikan teladan bagi kita, Daud mengungkapkan dan mengakui dosanya di hadapan Allah dengan berkata: “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu”. (Mzm. 51: 5-6)
Daud dengan penuh kesadaran mengakui seluruh dosanya, bahwa ia telah berdosa dengan melakukan apa yang jahat di mata Allah. Pengakuan ini membuktikan bahwa Daud tidak mau mendustai Allah dengan keahliannya berargumentasi secara teologis dan pembenaran dirinya, karena itu Daud akhirnya tetap hidup berdamai dengan Allah.
Alkitab juga mencatat bagaimana kegagalan umat Israel yang mencari Allah tetapi tidak dengan kerendahan hati, artinya mencari Allah untuk mengenal-Nya bukan dengan hati, tetapi hanya dari sisi intlektualitas semata. Perhatikan Yesaya 58:2 “Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya, mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah,” Semestinya bangsa ini akan menjadi bangsa yang menyukakan hati Allah jika mereka mencari Allah dengan hatinya, tetapi apa yang terjadi?
“Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi” (Yes. 58:4). Ternyata umat Israel hanya mampu berbicara tentang Allah dari sudut otak dan intelektualitas, tetapi mereka gagal mempraktikkannya. Bukankah hal yang sama kerap kita lakukan? Pdt. Yohanes Bambang Mulyono menyebutnya dengan syaraf spiritualitas yang terputus (Pelita Umat, BPK Gunung Mulia, 2011), dengan mengutip dari buku yang berjudul Jesus Among Other God, karya Ravi Zakharias dikisahkan bagaimana pengalamannya ketika ia tinggal di suatu hotel yang berseberangan dengan sebuah kuil. Ia mengamati betapa antusias ribuan orang yang khusuk berdoa di depan kuil tersebut. Di saat sekadar berjalan di depan kuil itu, mereka akan membuat tanda penghormatan seperti menundukkan kepala dan melipat tangan menyembah kepada Tuhan yang ada di dalam kuil tersebut. Tetapi, setelah beberapa langkah, mereka segera “berjaga-jaga” untuk melihat turis manakah yang dapat mereka perdayai hari itu dari upaya menunjukkan gambar telanjang atau menawarkan pelayanan seks seorang pelacur hingga menjual jam tangan Rolex palsu. Di satu pihak, mereka jelas sangat hikmat dan menghormati hal-hal religius, tetapi di lain pihak, mereka tidak segan mempraktikkan berbagai tindakan ilegal dan amoral.
Ritual memang bukan segalanya, karena Tuhan Yesus sendiri telah mengkritisi ritual-ritual yang dilakukan kaum Farisi dan Ahli Taurat yang ditujukan hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain dan atau memojokkan orang lain (menjadi batu sandungan).
Nabi Yoel dengan tegas menyatakan dalam Yoel 2:13: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” Yang diinginkan Tuhan bukanlah hanya sekadar ritual tanpa hati yang menyesal dan remuk, apalah artinya ritual yang tidak diikuti dengan perubahan sikap sebagai hasil dari sebuah pertobatan.
Sekali lagi Daud memberikan teladannya, saat ia ditegur oleh nabi Natan atas dosa perzinahannya dengan Batsyeba. Daud mengungkapkan pengakuannya: “ Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Mzm. 51: 18-19) Daud tidak lagi menggunakan pengakuan dosanya dengan simbolis ritual, tetapi memilih pengakuan dosa yang lahir dari hati yang hancur.
Harapan
Rangkaian perayaan Paskah akan menjadi lebih bermakna dan mengubahkan, jika diawali dengan pemaknaan secara benar. Rabu Abu sebagai pembuka Pra-Paskah, seyogianya dimaknai dengan sebuah pertobatan yang berasal dari hati namun juga tercermin dalam sebuah ibadah yang menggambarkan hati yang hancur dan penuh kerendahan untuk mengubah diri (bertobat).
Masa Pra-Paskah selama enam minggu yang diikuti dengan puasa (menahan dan membatasi diri sebagai implementasi dari penguasaan diri) adalah masa yang cukup untuk membentuk karakter baru yang jauh dari karakter keberdosaan. Pada akhirnya dalam ibadah Paskah, kita akan menemukan sebuah kemenangan atas perilaku yang lama dan lahirnya sebuah perilaku baru yang seturut dengan kehendak Tuhan. Semoga Rabu Abu bukan awal yang terlupakan, tetapi awal yang mengubahkan.
Bacaan:
- Mulyono, Yohanes Bambang. Pelita Umat: Ulasan Tafsir Alkitab yang Kritis, Mendalam, dan Menggugah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
- "YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald." (Disadur dan diedit oleh: JA Gianto - Sie Katekese)
- Saunders, William P., Straight Answers: The Ashen Cross, Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright C2003 Arlington Catholic Herald. diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell. net/yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald.