TOBAT atau KUMAT?
Oleh : Yesie Irawan
Tanggal Posting : 06 November 2013
Kita pasti sudah sering mendengar ilustrasi tentang orang Kristen “tomat”. Dikatakan dalam ilustrasi itu bahwa orang Kristen “tomat” ini bertobat pada hari Minggu, meratap, komat-kamit panjang lebar saat pengakuan dosa, dan berlaku suci di gereja. Namun, Senin sampai Sabtu, kumat deh! Ketika saya mengamati fenomena menjamurnya golongan ini, saya jadi mempertanyakan hakikat pertobatan yang sesungguhnya. Apa sih yang dimaksud dengan pertobatan itu? Apa sih konsekuensi pertobatan?
Pertobatan = Berganti Haluan 180°
Dalam bahasa Ibrani, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah syub (Yer 3:14, Mzm 78:34, dan Yer 18:8). Syub artinya berbalik atau bertobat. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah metanoia. Kata metanoia berasal dari bahasa Yunani dan digunakan 58 kali dalam Alkitab. Kata metanoia biasanya digunakan dalam istilah militer. Pernahkah kita membayangkan bahwa kita menjadi seorang tentara dan berada di medan perang bersama-sama dengan regu batalion kita? Tiba-tiba, serangan musuh menggila. Akhirnya, komandan regu kita memerintahkan kita untuk berbalik arah dan mundur. Jika kita tidak berbalik, kita akan mati. Begitulah juga dengan pertobatan. Pertobatan berarti berbalik arah 180°, dari jalan yang sesat kepada Allah. Jika kita tidak berbalik arah (baca: bertobat), kita akan mati, tewas di medan perang.
Pertobatan tidak hanya sekadar berbalik arah seperti membalikkan badan, namun pertobatan juga meliputi perubahan pikiran, hasrat, dan reformasi kehidupan. Bukan pertobatan namanya jika kita mengakui dan menyesali segala kesalahan kita, namun kita hanya berkubang dalam penyesalan dan tetap tinggal dalam kesedihan kita. Bukan pertobatan namanya jika kita melakukannya karena takut dihukum. Bukan pertobatan namanya jika kita menyesali perbuatan kita dan mengulanginya kembali (Kis 24:25). Pertobatan menuntut sebuah perubahan pikiran, hasrat, dan gaya hidup ke arah yang progresif, yang sesuai dengan kehendak Allah.
Konsekuensi Pertobatan: Hati-hati dan Setia
Walaupun kita sudah bertobat dan berada pada arah yang benar, kita bisa saja tersandung. Kita bisa saja tergoda untuk kembali ke “tempat semula”. Atau, kalaupun tidak berbalik arah, kita bisa saja tergoda untuk menengok alias “icip-icip doang”. Kita mungkin saja kumat kembali dan melakukan hal yang dulu kita lakukan. Ah, lagipula bukankah kehidupan sebelum kita memutar haluan pada umumnya lebih nikmat? Lebih enak rasanya jika kita menikmati uang suap atau uang hasil korupsi. Lebih nikmat rasanya jika berbohong dengan rapi di hadapan orang tua, istri atau suami.
Namun, bukan tobat namanya bila kita terus mengulangi kesalahan kita. Itu namanya kumat. Sayang sekali, faktanya manusia cenderung lebih dungu dari keledai. Keledai mungkin hanya terjatuh dua kali pada lubang yang sama, tetapi, manusia dapat jatuh dan terjerat pada perangkap yang sama berkali-kali. Manusia memang makhluk yang sangat rentan.
Walaupun demikian, di tengah kerentanan kita sebagai manusia, ada hal yang penting untuk kita ingat: pertobatan menuntut sebuah konsekuensi, yaitu kesetiaan kepada Allah. Kesetiaan menuntut kejelian dan kehati-hatian. Kita ini seumpama pengembara di hutan belantara yang penuh dengan jebakan dan binatang buas. Tentulah pengembara ini merindukan rumahnya yang dipenuhi kedamaian, di ujung rimba sana. Namun, jika kita tidak membelalakkan mata kita, memperuncing pendengaran, mempertajam penciuman, dan berhati-hati melangkah, kita mungkin saja terperosok ke dalam jurang yang dalam atau dimangsa binatang buas.
Pertobatan yang Progresif: Bersedia Di-edit
Rintangan yang dihadapi dalam pertobatan tidak hanya sebatas godaan untuk berbalik arah atau sekadar menengok ke belakang, melainkan dapat berupa kesombongan rohani. Saya rasa, kita semua pernah mendengar sindiran “Kristen KTP”. Sindiran ini seringkali ditujukan bagi orang Kristen yang tidak pernah bergereja. Saya sendiri tidak setuju terhadap sindiran ini maupun terhadap yang dilakukan si penyindir. Menurut Eka Darmaputera, sindiran seperti ini menunjukkan kesombongan rohani. Seolah-olah si penyindir merasa dirinya lebih suci serta tetap berada di jalan yang paling benar jika dibandingkan dengan yang disindir.
Tuhan tidak menginginkan kita sombong secara rohani. Bila kita besar kepala, sebenarnya kita sedang terjebak dalam titik kumat. Kita kumat ketika menganggap diri kita paling suci dibandingkan orang lain. Kita kumat ketika menganggap pertobatan kita paling sempurna dan pertobatan orang lain tidak. Kita kumat ketika kita menganggap pemahaman teologis kita adalah yang paling superior. Kita kumat ketika kepala kita semakin membesar dan hidung kita terbang ke awan-awan.
Dalam pertobatan terkandung nilai pengosongan diri dan kerendahan hati. Setiap orang yang bertobat diundang untuk menyadari keberdosaannya dan beranjak ke arah yang progresif. Orang yang bertobat bukanlah orang yang sombong rohani dan tidak pernah merasa bersalah. Dengan demikian, orang yang bertobat senantiasa bersedia diedit atau diperbaharui oleh Allah. Orang yang bertobat bersedia ditegur oleh Allah ketika ia tersandung atau tergoda untuk menengok. Orang yang bertobat tidak boleh merasa puas dan berbangga diri atas pertobatannya yang membuatnya jatuh pada titik stagnasi. Orang yang bertobat hendaknya selalu mempertanyakan imannya dan tindakan imannya. Pertanyaannya, apakah kita adalah orang yang bertobat atau orang yang kumat? Mari bersama-sama bergumul dan merenungkannya. Mari bertobat...