Satu dalam Kepelbagaian

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Tanggal Posting : 06 December 2013

Pengantar

 

Saat kembali ke Medan beberapa saat yang lalu, penulis menemui seorang anggota gereja yang merupakan pendiri sebuah gereja. Si Bapak menceritakan bagaimana “perpecahan” terjadi di antara anggota jemaat dan majelis jemaat.  Program kerja majelis tidak lagi berjalan dengan baik, karena jika kelompok yang satu duduk di sebuah kepanitiaan, kelompok yang lain tidak lagi berkenan untuk ambil bagian.

 

Kisah jemaat tersebut adalah akumulasi dari sebuah persoalan kecil yang tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, sehingga menjadi akar pahit bagi persoalan-persoalan lain yang muncul. Di tempat lain mungkin tidak seekstrim persoalan di atas, tetapi boleh jadi pembiaran atas pelbagai aktivitas mulai terasa bahkan mulai mengkhawatirkan berbagai pihak, walau hanya di hati belaka.

 

Konflik mungkin belum hadir secara kasat mata, tetapi konflik batin mulai terasa di antara anggota jemaat. Pembiaran seperti ini menjadi bom waktu yang akan meledak menjadi disharmoni di antara sesama jemaat.

 

Keprihatinan Paulus

 

Dalam Alkitab, kita temukan bahwa Paulus memberikan perhatian besar terhadap perpecahan di dalam jemaat. Setidaknya ada dua surat yang dikirimkan Paulus yaitu surat Roma dan Surat kepada jemaat Korintus yang mengangkat persoalan perpecahan di dalam jemaat, dengan pola yang berbeda.

 

Pertama, dalam Surat Paulus kepada jemaat Roma, keprihatinan Paulus didasari pada kejadiaan yang ada di lingkungan Yunani-Romawi. Dalam masyarakat Roma ada cerita mengenai pemberontakan kaum plebeii (rakyat kecil) yang merasa tertekan oleh kaum patricii, golongan atas.  Mereka meninggalkan kota Roma dan hendak mendirikan kota yang baru. Lalu seorang wakil dari golongan patricii mendatangi mereka dan menceritakan kepada mereka kisah anggota tubuh (tangan dan kaki) yang tidak mau lagi capai mencari makanan bagi perut, sebab mereka tidak kebagian. Laparlah perut. Sesudah beberapa lama, semua anggota tubuh termasuk tangan dan kaki, ikut menderita, maka sadarlah tangan dan kaki sehingga mereka kembali menunaikan tugasnya.

 

Perumpamaan tersebut dikutip Paulus untuk menggambarkan keprihatinannya atas ketidakpedulian jemaat Roma terhadap satu dengan lainnya (Rm. 12:4-5). Karunia yang dimiliki seolah hanya untuk diri sendiri, kalaupun seseorang mengambil peran di dalam jemaat karena karunia yang dimilikinya, peran itu tidak lagi dilakukan dengan sepenuh hati (Rom.12:6-8).

 

Kondisi jemaat Roma yang terdiri dari Yahudi dan non-Yahudi, sangat memungkinkan terbentuknya pengelompokan berdasarkan kebangsaan (baca etnis) maupun berdasarkan keadaan ekonomi. Hal ini dimungkinkan mengingat kota Roma adalah kota kosmopolitan yang dihuni para saudagar kaya dan juga buruh serta budak yang miskin.

Kondisi masyarakat yang majemuk, semula diharapkan menjadi kekuatan dalam persekutuan di jemaat, kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, setidaknya menurut pandangan Paulus. Karunia seseorang tidak dijadikan sebagai berkat yang mempersatukan, tetapi menghadirkan dinding pemisah.

 

Kedua, surat Paulus kepada jemaat di Korintus didasari adanya perselisihan di dalam jemaat karena terjadi keberpihakan terhadap tokoh-tokoh yang mereka kagumi, seperti Apolos dan Paulus (1Kor. 3:4-5). Mereka menonjolkan aliran masing-masing, para pengikut Apolos merasa memiliki keunggulan dibandingkan pengikut Paulus. Mereka larut dalam “dogma” masing-masing sehingga gagal memahami bahwa kabar yang dibawa Apolos dan Paulus adalah kabar yang sama yang disampaikan oleh Yesus Kristus.

 

Demikian halnya dengan ketidakmampuan mereka untuk berbagi satu sama lain (1Kor. 11:21), perjamuan malam yang seyogianya untuk memperlihatkan kesetaraan dan kesehatian mereka, serta melatih mereka untuk berbagi satu sama lain, pada kenyataannya hanya menjadi ajang untuk mempertontonkan kemampuan masing-masing individu dan kelompok. Menurut Paulus hal ini menjadi cerminan kegagalan mereka untuk memahami kesatuan dalam kepelbagaian (1Kor. 12:12-26).

 

Hakekat Pelayanan

 

Paulus menyadari adanya rupa-rupa pelayanan (1Kor. 12:5) yang bersumber pada satu Tuhan. Paulus tidak melihat pelayanan seperti memperlihatkan kemurahan, menolong orang lain dalam kesusahan atau sekadar memperlihatkan rasa simpati sebagai pelayanan yang lebih rendah dibanding dengan karunia-karunia karismatis yang jelas lebih “rohani”.  Itulah yang dilupakan orang-orang Korintus, yang mengejar karunia-karunia tanpa pelayanan kasih kepada orang lain (bnd. 1Kor. 13).

 

Aktivitas warga jemaat dalam komisi perlawatan saat menghibur orang sakit, ataupun menguatkan mereka yang berduka, tidaklah lebih rendah nilainya dibandingkan khotbah di atas mimbar. Itulah kira-kira yang diingatkan Paulus kepada kita saat ini.

 

Allah dalam memperlengkapi umat-Nya dengan karunia-Nya tidak bermaksud memberi karunia itu untuk dinikmati manusia secara pribadi, melainkan untuk kepentingan bersama. Seperti suatu tindakan mungkin sah, tetapi tidak baik bila tidak berhasil melayani orang lain (1kor. 6:12; 10:23), demikian pula dengan memiliki karunia roh, tidak banyak artinya (kecuali, mungkin untuk kebanggaan pribadi) bila tidak digunakan untuk kepentingan orang lain.

 

Dalam konteks pelayanan, Paulus tidak berbicara tentang jemaat sebagai sebuah organisasi, melainkan organisme. Ia bukanlah sebuah struktur eksternal, melainkan orang-orang yang terjalin bersama, dan masing-masing anggota melayani keseluruhan tubuh itu dengan menjalankan fungsi yang telah ditetapkan kepadanya. Lebih jauh, jemaat itu bukanlah semata-mata seperti sebuah tubuh; ia adalah tubuh Kristus (1Kor. 12:4-11).

 

Sebagaimana dikatakan Paulus dalam Roma 12:4-5, contoh tubuh manusia itu meng-gambarkan kepelbagaian rohani di dalam satu Tubuh Kristus. Orang-orang Korintus tahu benar tentang kepelbagaian ini, jadi maksud utamanya bukanlah kepelbagaian karunia dan anggota melainkan keesaan jemaat. Itu sebabnya Paulus memulai dengan pernyataan sentral: Tubuh manusia itu satu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh; tidak ada satu bagian atau organ pun yang dapat berada atau berfungsi di dalam dirinya sendiri, yang dapat mengklaim bahwa ia adalah sesuatu yang terpisah dari kesatuan organisme yang hidup keseluruhannya. Demikian pula Kristus di dalam Tubuh-Nya yaitu jemaat.

 

Singkat kata, Paulus tidak melihat anggota jemaat terpisah satu sama lain. Ia melihat setiap anggota memiliki peran dalam membangun sebuah jemaat dengan talenta yang dimilikinya. Tangan tidaklah lebih berharga dibandingkan dengan mata atau mulut, demikian halnya kaki. Penerima tamu dengan sapaannya yang hangat tidaklah kurang penting dibandingkan pemimpin pujian atau lektor bahkan pengkhotbah sekalipun. Masing-masing pelayan memiliki keunikan fungsi untuk mendukung keutuhan pelayanan bagi kemuliaan nama Tuhan.

 

Mengubah Pola Pikir

 

Bukan Paulus namanya jika tidak memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang menjadi keprihatinannya. Demikian halnya dengan persoalan dalam jemaat Roma dan Korintus. Menurut Paulus, pertikaian yang terjadi adalah buah dari kegagalan mereka dalam memahami makna pelayanan dan peran setiap anggota di dalam sebuah jemaat.

 

Paulus dengan tegas memberikan cara untuk dapat mengambil peran yang semestinya sebagai pengikut Tuhan, yaitu dengan cara berubah (metamorphousthai-Yun) melalui pembaharuan pemikiran (nous-Yun). LAI menerjemahkan budi (mind–NIV) lebih tegas CEV menerjemahkan “but let God change the way you think” (Rm. 12:2b).

 

Kata metamorphousthai dengan akar kata morphe berarti suatu bentuk atau unsur pokok yang tidak berubah, pengertian ini berbeda dengan schema yang merupakan bentuk luar yang selalu berubah-ubah. Mari simak Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Berarti untuk tidak sama dengan dunia yang penampilan luarnya selalu berubah (schema), kita harus mengalami perubahan (morphe) hingga unsur pokok pemikiran tidak berubah. Dalam kondisi ini kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

 

Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat disampaikan, bahwa untuk mengerti kehendak Allah dan memahami peran di dalam jemaat, diperlukan pembaharuan pola pikir secara permanen di dalam Roh Kudus. Pola pikir yang berubah yang dimaksud Paulus bukan pola pikir yang tergantung pada situasi. Artinya saat posisi yang menguntungkan dalam pelayanan (misalnya ditempatkan pada posisi yang dikehendaki) dengan senang hati mengambil peran, namun saat sebaliknya sulit untuk memberikan dukungan. Atau saat pihak yang kita sukai mengambil peran kita sudi melibatkan diri, namun jika tidak, kita hanya sebagai penonton. Jika itu yang terjadi, kita masih sama dengan dunia yang senantiasa mengalami perubahan pada sisi luar semata (schema), tetapi Paulus menginginkan kita berubah secara total (morphe).


Gereja Masa Kini

 

Andai Paulus hendak menulis surat kepada jemaat kita saat ini, apakah ia akan menuliskan sebuah keprihatinan atau pujian kebanggaan seperti kepada jemaat di Filipi?

Kehidupan jemaat di dalam gereja modern saat ini kadang menjadi antiklimaks: dengan alasan menciptakan kesatuan dan damai sejahtera, perbedaan pendapat seolah menjadi kealpaan. Kecenderungan yang terjadi adalah perbedaan pendapat menjadi “tabu” dan kritik menjadi “haram” sehingga segala ide diputuskan “nyaris” dengan kata bulat namun tidak melalui penggodogan. Hakiki hal ini tidaklah salah jika apa yang diputuskan menjadi milik bersama.  Namun yang kerap disayangkan, keputusan seolah menjadi milik si penggagas, sementara para “follower” (partisipan) cukup menjadi penonton akibat lemahnya pembedahan konsep sebelum diputus atau ketiadaan rasa memiliki terhadap keputusan yang diambil.

 

Benarkah gereja harus berjalan tanpa perbedaan pendapat dan daya kritis? Mari melihat hubungan Paulus dan Petrus. Petrus adalah pemimpin jemaat mula-mula bersama Yakobus saudara Yesus, sedang Paulus bukan termasuk dari kedua belas murid Yesus yang setia menemaninya di kala Yesus hidup. Namum, saat Petrus berlaku “munafik” terhadap kalangan Kristen non-Yahudi, secara tegas Paulus mengkritik. Yang terjadi kemudian adalah pembaruan dalam pola pikir Yakobus terhadap keselamatan bagi kaum non-Yahudi.  Pada sisi lain, hubungan Petrus dengan Paulus tidak mengalami kerenggangan.

 

Tentu tidak seluruh perselisihan di antara para Rasul membawa “happy ending”. Lihat saja hubungan Paulus dan Barnabas, mereka akhirnya berpisah dalam pelayanan karena berbeda pendapat perihal Yohanes yang disebut Markus (Kis.15:37-41), tetapi mereka tetap tidak berubah dalam panggilannya untuk memberitakan kabar baik.

 

Menurut penulis, kondisi tersebut tercipta setidaknya di dasari pada dua hal. Pertama Paulus, Petrus maupun Barnabas memiliki tujuan yang sama, yaitu melayani Tuhan dengan memberitakan kabar baik. Paulus, Petrus dan Barnabas, dapat dipastikan memiliki kepentingan pribadi yang berbeda, tetapi kepentingan pribadi mereka tidak melampaui tujuan bersama sebagai hamba Tuhan. Kedua, mereka terbuka terhadap pembaharuan. Petrus terbuka untuk dikoreksi walaupun oleh seorang pengikut Kristus yang lebih junior, Paulus bersedia menerima perbedaan pendapat dengan Barnabas, walau Barnabaslah yang pertama kali mengenalkan Paulus kepada para murid (Kis.4:36) dan teman sepelayanannya.

 

Tidak jarang symptom (gejala) dari perpecahan di dalam jemaat diawali dari lemahnya pemahaman akan tujuan yang sama dari setiap warga jemaat. Kepentingan kelompok misalnya melampaui tujuan, sentimen pribadi melampaui panggilan tugas pelayanan. Perbedaan pandangan belum menjadi sebuah proses untuk menghasilkan hal yang lebih baik.  Respon yang memadai terhadap symptom diharapkan akan mencegah munculnya ketidakpedulian terhadap aktivitas gereja, bahkan konflik yang terbuka.

 

Harapan

 

Kesatuan dalam kepelbagaian bukanlah suatu proses instan yang dapat dicapai dalam waktu singkat, ini adalah proses berkelanjutan yang dimulai dari kepekaan setiap anggota akan perannya di dalam sebuah jemaat. Bagaikan anak kecil yang kerap diingatkan untuk memberi salam kepada orang yang ditemuinya, pada saatnya ia akan melakukan hal tersebut tanpa harus diingatkan. Demikian halnya dengan jemaat, kepekaan akan hadir bila hal itu kerap diperbincangkan. Media terdepan dalam sebuah gereja adalah khotbah.

 

Kebiasaan memperbincangkan kehidupan jemaat sebagai sebuah ilustrasi yang relevan dengan topik khotbah menurut penulis dapat mendorong kepekaan dan kepedulian di antara sesama jemaat. Setidaknya ajakan untuk berbagi kasih kepada jemaat dalam arti luas, yang kerap disampaikan dalam doa, tentu pada waktunya akan membuahkan kepekaan satu sama lain.

 

Jika Paulus seorang penganiaya jemaat dapat mengubah pola pikirnya menjadi pelayan jemaat Tuhan, bukan hal sulit bagi kita yang memiliki Alkitab untuk mengubah pola pikir untuk mengambil peran.

 

Akhirnya, biarlah kita berharap jika Paulus akan menuliskan suratnya kepada kita, yang tertulis sebagai kata pembukanya adalah “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. (Flp. 1:3-5)

 

Bacaan :

  1. Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Roma dari Bahasa Yunani, Yayasan Kalam Hidup, Bandung: 2004.
  2. Th van den End, Tafsiran Alkitab : Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2003.
  3. Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), LAI, Jakarta : 2004
  4. R.A. Jaffray, Tafsiran Surat Roma, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2007.
  5. V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian: Tafsiran atas surat 1 Korintus, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2004.
  6. William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2003.
  7. William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Surat 1 & 2 Korintus, BPK Gunung Mulia, Jakarta: 2008.

Image courtesy of smarnad at FreeDigitalPhotos.net