Keluargaku: Inspiratif atau Destruktif?

Oleh : Yesie Irawan

Tanggal Posting : 03 October 2013

Beberapa Percikan Peristiwa

Percikan Peristiwa 1

Pada tanggal 27 Februari 2012, Usman, seorang warga di Palembang, ditangkap polisi karena telah membunuh. Yang ia bunuh adalah mertua perempuannya. Ia membacok kepala ibu mertuanya yang sedang tidur dengan menggunakan golok. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui bahwa motif pembunuhan yang dilakukan Usman adalah karena dendam kesumat. Usman jengah karena martabatnya direndahkan oleh pihak keluarga istrinya. Berita ini dilansir dari www.indosiar.com.

Percikan Peristiwa 2

Niko Kili-Kili, seorang mantan ketua preman yang sempat membuat keributan di Tanah Abang Jakarta, terlahir dari sebuah keluarga broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengacara menikah dengan beberapa orang perempuan. Sejak kecil, ayahnya berkata padanya, “Jika kamu masuk penjara karena menghamili anak orang ataupun memakai narkoba, Papa tidak akan melepaskanmu dari penjara. Jika hendak melakukan kejahatan, bunuh saja orang sekalian! Papa akan membelamu dan membebaskanmu dari penjara.” Niko Kili-Kili tak dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam hidupnya. Saat dewasa, ia membunuh, bermain judi, dan menjadi pecandu narkoba.  

***

Saya mengawali tulisan ini dengan kutipan yang sangat destruktif. Memang, tampaknya kutipan ini berada dalam titik ekstrim (baca: keluarga yang hancur dan rapuh). Namun, saya ingin menghindari kesan generalisir. Memang perlu diakui bahwa tidak selamanya hubungan mertua dan menantu yang retak berujung dengan sebuah golok. Tidak selamanya juga, seorang anak yang berasal dari keluarga broken home menjadi anak yang brutal. Namun, melalui percikan-percikan peristiwa ini, saya ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa keluarga tetap memiliki peran yang penting bagi masing-masing anggotanya dalam mengarungi samudera hidup ini.

Pengaruh Keluarga terhadap Kepribadian Anggota Keluarganya

Kontak sosial pertama terjadi dalam keluarga. Zdanowics, Pascal dan Reynart (2004) melakukan studi banding terhadap 814 remaja yang tidak bermasalah dengan 358 remaja yang mengalami gangguan psikologis dengan menggunakan kuesioner Oslon (kuesioner yang digunakan untuk melihat bagaimana kondisi keluarga seseorang). Dari hasil penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa remaja yang tidak bermasalah tumbuh di lingkungan keluarga yang adaptif dan memiliki interaksi yang baik. Sementara remaja yang mengalami gangguan psikologis tumbuh di lingkungan keluarga yang berantakan (baca: tercerai berai) dan kaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peluang untuk menjadi sumber inspirasi atau menjadi sumber destruksi bagi anggotanya.

Dalam Alkitab, kita melihat kisah beberapa tokoh yang hidupnya berantakan karena kehidupan keluarganya tidak memberikan inspirasi. Menurut saya, prahara rumah tangga Daud yang berselingkuh dengan Batsyeba secara tidak langsung memberi dampak pada kehidupan keluarganya. Keluarganya hancur berantakan. Tamar, anak perempuannya diperkosa oleh Amnon, saudaranya sendiri. Selanjutnya Amnon dibunuh oleh Absalom, kakak kandung Tamar.

Sebaliknya, kita juga dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam kehidupan keluarga Timotius. Ia dididik dalam cinta kasih Kristus oleh ibunya, Eunike, dan neneknya, Louis (2 Tim. 1:5). Keluarga menjadi lokus disemainya benih-benih Injil dalam diri anak. Oleh karena itu, pada saat Timotius dewasa, ia tumbuh menjadi pemimpin yang teguh dan mengasihi Tuhan.

Dari pemaparan ini, sangat jelas bahwa kehidupan keluarga kita pun berpengaruh terhadap pertumbuhan psikis dan iman masing-masing anggota keluarga. Pertumbuhan kedewasaan psikis dan iman tidaklah terbatas. Psikis dan iman dapat terus bertumbuh sampai kita berada di dalam titik akhir kehidupan. Pribadi-pribadi yang bertumbuh dalam keluarga yang inspiratif tentu saja akan mewarnai kehidupan di lokus yang lebih luas (baca: gereja dan masyarakat). Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Horminghausen dan Enklaar -teolog di bidang pendidikan Kristiani-. Mereka berkata bahwa kehidupan bergereja pun akan semakin sehat jika anggota-anggota jemaat hidup dalam keluarga yang sehat dan inspiratif. Oleh karena itu, marilah kita membangun keluarga Kristen yang inspiratif dan bukan keluarga yang destruktif! Pertanyaannya bagaimana membangun iklim keluarga yang inspiratif?

Keluarga yang Inspiratif:

Menjadikan Tuhan sebagai dasar keluarga

Keluarga Kristen harusnya menjadi gambaran dari keluarga Allah. Peristiwa kehadiran Yesus dalam perkawinan di Kana menunjukkan kepedulian Allah terhadap keluarga. Keluarga Kristen harus membangun dasar kehidupan berkeluarganya di atas dasar Kristus. Keluarga yang berjangkar pada Kristus menjadikan kehidupan Kristus sebagai teladan bagi keluarga dalam mengarungi kehidupan. Setiap anggota keluarga meneladani kasih-Nya, kerelaan-Nya untuk berkorban, kesetiaan-Nya, ketulusan-Nya dan perhatian-Nya. Sebaliknya, jika kita membangun kehidupan keluarga di atas hasrat keegoisan masing-masing anggota keluarga, maka kita sedang membangun di atas pasir yang rapuh, dan bukan di atas batu karang (band. Mat. 7:24-27).

Membangun di atas batu karang berarti menjadikan Kristus sebagai pondasi bagi kehidupan keluarga. Hal ini bukan berarti bahwa tidak akan ada badai hidup yang menimpa keluarga tersebut. Badai hidup, masalah, dan godaan akan tetap ada. Namun, cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas Kristus tentu akan berbeda dengan cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas pasir. Keluarga yang berakar pada Kristus akan menjadikan Kristus sebagai sumber pertolongan dan kekuatan. Keluarga yang berakar pada Kristus akan mencari solusi yang sejalan dengan kehendak-Nya.

Mempererat komunikasi di antara anggota keluarga

Ada banyak kesalah-pahaman yang terjadi di dalam keluarga. Suami merasa istri hanya mementingkan dirinya, demikian sebaliknya. Anak-anak merasa orang tua tidak mengerti harapannya, demikian sebaliknya. Padahal, di dalam hati masing-masing anggota keluarga, ada benih-benih kasih untuk saling memperhatikan. Namun yang sering terjadi adalah perhatianku untukmu tidak dimengerti sebagai pengertian olehmu, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kehidupan berkeluarga kita perlu mengubah persepsi kita. Berpikirlah untuk keutuhan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.

Kesalah-pahaman ini sering terjadi karena kurangnya komunikasi. Pada saat ini, kehidupan keluarga Kristen sudah dirasuki oleh perkembangan teknologi yang menyuburkan individualisme. Setiap makan di rumah makan, saya sering memperhatikan pola komunikasi di antara keluarga-keluarga yang makan bersama. Mereka memang duduk dalam satu meja makan, namun mereka memiliki dunia yang berlainan. Masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya. Tidak ada percakapan di antara anggota keluarga. Mereka tersenyum atau cemberut sendiri, sambil menatap telepon genggam. 

Pola komunikasi yang seperti itu membuat jarak yang dekat pun menjadi semakin jauh. Anak dan orang tua menjadi orang asing yang tidak saling mengenal dengan baik. Tidak ada kehangatan dalam keluarga. Akibatnya, kesalah-pahaman pun sering terjadi. Saya berpendapat bahwa setiap keluarga harus membuat perjanjian bersama untuk saling memperhatikan keberadaan masing-masing, serta menyimpan telepon genggam pada saat kebersamaan keluarga. Masing-masing keluarga juga perlu mengadakan persekutuan doa keluarga, walaupun persekutuan doa sangat sulit untuk dilakukan mengingat kesibukan masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan di kota besar.

Ah, keluargaku sudah terlanjur kacau!

Jika saat ini kehidupan keluarga kita berada dalam titik rapuh dan menjurus ke arah destruksi, bukan tidak mungkin kita mengolah sesuatu yang destruktif menjadi inspiratif. Selalu ada harapan di dalam kekelaman. Niko Kili-Kili, dalam Percikan Peristiwa ke-2 pada  bagian awal tulisan inipun akhirnya dapat bertobat dan mengampuni ayahnya. Hidupnya dipulihkan. Ia membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan. Ia bertobat dan berubah menjadi seseorang yang begitu mencintai istrinya. Ia tidak mau istrinya merasakan apa yang dialami oleh ibunya dulu. Selalu saja ada harapan untuk memutuskan rantai destruktif yang sudah membelit keluarga kita.

Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai banyak tokoh yang akhirnya dapat berdamai dengan pengalaman pahit di dalam keluarganya. Esau dan Yakub yang hidup dalam ketegangan karena favoritisme yang dilakukan oleh orang tuanya pada akhirnya dapat berdamai kembali. Tuhan meretas cinta kasih yang melunturkan kemarahan di dalam dua saudara ini. Mereka berdua akhirnya dapat berdamai. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan bercium-ciuman (Kej. 33:4). Kisah perdamaian antara Esau dan Yakub ini tentunya dapat menjadi inspirasi bagi keluarga yang berada di ambang kehancuran, untuk kembali lagi merekatkan bejana yang retak.

Selamat mengusahakan keluarga yang inspiratif. Di dalam Kristus selalu ada harapan untuk mengubah keluarga yang destruktif menjadi inspiratif.