Masihkah Keluarga Menjadi Tempat Menabur Asa?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Tanggal Posting : 06 November 2013

Judul tulisan di atas bukan untuk menggambarkan pesimisme bahwa keluarga bukanlah tempat yang nyaman lagi utuk menabur asa (harapan), atau dengan kata lain bukanlah suatu pandangan yang mereduksi peran keluarga. Tetapi mencoba melihat, apakah di tengah-tengah perubahan era seperti hadirnya finger generation, anggota keluarga lebih menikmati bermain gadget daripada bercengkrama satu sama lain. Masikah kebersamaan di dalam keluarga efektif untuk menjalin komunikasi satu sama lain, di tengah persaingan hiburan yang mengasyikkan seperti televisi, game dan gadget? Setiap anggota keluarga seolah kehabisan waktu untuk bercengkrama satu sama lain, sekalipun jarak tak membatasi mereka. Dalam kondisi tersebut, apakah keluarga masih mampu menjadi tempat untuk menabur asa ?

 

Belajar dari Keluarga Timotius

 

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu”. (2 Tim. 1:5)

 

Menarik untuk mengenal lebih jauh keluarga Timotius di era heterogenitas saat ini. Timotius dilahirkan oleh seorang ibu Yahudi yang telah menjadi percaya sedangkan ayahnya seorang Yunani. Alkitab tidak mencatat secara eksplisit apakah ayah Timotius orang percaya atau tidak. Tetapi Alkitab menegaskan secara eksplisit bahwa iman yang tulus ikhlas dalam diri Timotius tidak lepas dari peran neneknya, Lois, dan ibunya, Eunike

 

Sebagai seorang Yahudi, Lois dan Eunike tentu sangat kental dengan ajaran Musa yang memerintahkan umatnya untuk mengajarkan hukum Taurat kepada anak-anak mereka (Ul. 32:45) sebagaimana mereka sendiri harus memperkatakan kitab Taurat dan merenungkannya siang dan malam, agar mereka dapat bertindak hati-hati sehingga mereka akan mendapatkan keberhasilan (Yos. 1:8). Berlandaskan perintah tersebut, dapat dipastikan bahwa Lois dan Eunike sejak usia dini kerap memperbincangkan Firman Tuhan kepada Timotius, sehingga Timotius muda mendapatkan pengajaran sejak dini untuk mengenal kebenaran Firman Tuhan.

 

Pertanyaan kepada kita pribadi lepas pribadi, masihkah suasana seperti itu ada dalam keluarga kita? Masikah kita memiliki waktu untuk memperbincangkan Firman Tuhan dengan keluarga kita? Ataukah kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk menikmati permainan yang begitu mengasyikkan dan memperbincangkan kenikmatan dari permainan tersebut?

 

Memperbincangkan kebenaran Firman Tuhan di dalam keluarga tentu bukan sekedar sebuah pengajaran yang monolog, tetapi menjadi diskusi yang hangat dan bahkan terefleksi dari prilaku orang tua sebagai pemberi contoh. Lihat misalnya pengakuan Paulus akan ketulusan iman Timotius yang diperoleh pertama-tama dari neneknya, Lois, dan di dalam ibunya, Eunike. Artinya, nenek dan ibu Timotius sesungguhnya telah memberikan contoh (teladan) kepada Timotius muda untuk tumbuh dengan asa yang kuat akan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Faktor itulah yang membuat Timotius memiliki karakter terpuji, sehingga ia dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan Ikonium (Kis. 16 :2)

 

 

Asa vs Disiplin

 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan itu senantiasa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup insan sesuai eranya. Tidak ada yang salah dengan perkembangan tersebut sepanjang tidak merubah karakter keimanan.  Bagaimana agar karakter keimanan tersebut tetap bertahan? Carl Jung dengan teori kepribadian psikoanalitiknya mengemukakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kasualitas) tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (teologi).

 

Teori ini setidaknya membantu kita untuk menjelaskan secara ilmiah bahwa apa yang dilakukan Lois dan Eunike kepada Timotius adalah penguatan atas asa yang berupa tujuan-tujuan yang disampaikan secara berulang dan terus-menerus. Alam bawah sadar Timotius dibentuk oleh asa yang dibangun oleh ibu dan neneknya.

 

Tidak sedikit keluarga saat ini yang membangun kepribadian anak bukan dengan menabur asa, tetapi melalui pembiaran. Membiarkan si anak melakukan apapun demi alasan memberi kebebasan berkembangnya kepribadiaan si anak. Tidak jarang orang tua memberikan apa saja yang diinginkan anak, sekalipun si anak belum mampu menyeleksi dengan baik manfaat dari benda tersebut.

 

Membiarkan anak berteriak sekerasnya di keramaian, melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya dan mengusik ketenangan orang lain, mengizinkan anak membawa dan memainkan gadget ataupun game di sekolah minggu atau di tempat lain, padahal seharusnya si anak mendengarkan dengan tekun, menurut penulis bukanlah bagian dari pendewasaan karakter. Proses pembentukan karakter di samping dilakukan dengan memberi asa, juga perlu dibarengi dengan disiplin. Hanya dengan kedisiplinan seorang ibu, Eunike dapat memiliki waktu dengan Timotius muda bercengkrama dan berdiskusi akan imannya.

 

Tanpa dibarengi dengan kedispilinan mustahil sebuah keluarga memiliki waktu bersekutu bersama. Sebab, menjadikan persekutuan di dalam keluarga menjadi sebuah kebutuhan memerlukan disiplin dan konsistensi. Manakala hal itu tercipta, anak dan anggota keluarga secara tidak langsung sedang mengasah kompetensi yang dimilikinya, setidaknya setiap individu akan belajar untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan tentu pada akhirnya menjadi bertanggung-jawab. Penulis melihat prilaku ini dilakukan oleh Ompung (kakek/nenek dalam etnis Batak) penulis semasa hidupnya. Mereka tidak pernah keluar rumah sebelum bersekutu bersama, demikian juga saat sebelum tidur. Seorang istri (nenek) yang buta huruf, pada akhirnya mampu membaca sendiri Alkitab (Bibel-Alkitab berbahasa Batak) karena ketekunan dan kedisiplinan si suami (kakek) untuk mengajarinya. Contoh ini membekas sangat jelas bagi penulis. Sekalipun mereka tidak pernah meminta penulis untuk melakukan hal demikian, tetapi contoh yang penulis saksikan saat masih kanak-kanak menjadi pelajaran yang tak pernah lekang dari ingatan.

 

 

Harapan

 

Dalam era perkembangan teknologi informasi dan hiburan yang sangat pesat saat ini, seolah menjadi kemustahilan untuk memiliki waktu bersama meski hanya kurang dari lima belas menit, tanpa ditemani oleh peralatan teknologi informasi. Ketergantungan itu terjadi, selain karena fungsi tetapi juga karena mengasyikkan. Orang tua sebagai pemimpin keluarga perlu lebih kreatif lagi untuk membuat acara persekutuan bersama keluarga menjadi menarik dan diminati anggota keluarga. Saat acara itu menjadi kebutuhan, keluarga akan menjadi tempat menabur asa yang paling efektif tanpa terkesan menggurui, bukan hanya pada saat bersekutu bersama untuk membahas Firman Tuhan, tetapi juga dalam setiap interaksi yang terjadi dalam keluarga. 

 

Semoga persekutuan yang dibangun di setiap keluarga dapat mendekatkan yang jauh dan mengakrabkan yang dekat. (erh 25082012bdj)