“Tolong, dengarkan aku…”

Oleh : Rumanti Yuliasih

Tanggal Posting : 06 November 2013

Seorang sahabat mengirimkan sebuah kisah menarik. Kisah yang tidak diketahui sumbernya ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah yang mengatakan: “Jika kita mau mendengar dengan sabar, maka kita akan menemukan banyak hikmah dari yang disampaikan orang lain kepada kita.” Pada kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari yang terjadi adalah:kebanyakan orang lebih suka berbicara daripada mendengar. Banyak orang mudah berkata, namun sedikit yang mau menyimak. Padahal jika kita mau kembali ke “hukum alam”, seharusnya kita lebih banyak mendengar daripada bicara. Bukankah Tuhan memberi kita dua telinga dan hanya satu mulut?

 

Berikut ini kisahnya :

 

Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah malam. Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari tidurku ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku berusaha melihat jam beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkantepat tengah malam.

 

Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon. "Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang gagang telepon itu erat-erat. Suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat. "Mama?" terdengar suara di seberang sana. Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung telepon. Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku.

 

Ketika suara itu semakin jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku. "Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan berkata apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan sebelum mama menanyai aku macam-macam, aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan..."

 

Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman pada suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih mengaburkan pikiranku. Aku berusaha agar tidak panik. Ada sesuatu yang tidak beres. "...Dan aku takut sekali. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku telah melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang. Aku tahu tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama benar-benar cemasdan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari yang lalu,  tapi aku takut... takut..." Ia menangis tersedu-sedu. Sengguknya benar-benar membuat hatiku iba. Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai jernih, "Begini..." kataku.

 

Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara," ia meminta. Ia tampak putus asa. Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan. Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang,  tapi aku takut. Aku sungguh-sungguh takut!" Tangis itu memecah lagi.

 

Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk mataku mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, "Siapa itu?" Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak menjawab pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali sambil membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang tersambungpararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik. Lalu suara tangis di seberang sana terhenti dan bertanya, "Mama, apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma. Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian." Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap suamiku, meminta pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup telepon," kataku.

 

Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah yang selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi mama tak mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku. Mungkin mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir mama punya semuajawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak membutuhkan nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku,"kata suara di seberang sana.

 

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sisi tempat tidurku. "Mama mendengarkanmu," aku berbisik.

 

"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang. Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang." “Itu baik sayang," kataku sambil menghembuskan nafas yang meringankan dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku dengan jemarinya. "Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir mobil sendiri." "Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup telepon ini sampai taxi itu datang." "Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama." "Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang. Lakukan itu untuk  mamamu."

 

Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendengar suaranya, aku gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus mencegahnyamengemudikan mobil sendiri."Nah, itu taxinya datang," tiba-tiba suara itu terdengar lagi.  

 

Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega. "Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup telepon itu. Airmata meleleh dari mataku.

 

Aku berjalan keluar menuju kamar anak gadisku yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku dari belakang. Dagunya ditaruh di atas kepalaku. Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar mendengarkan," kataku pada suamiku. Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah gadis itu sadar kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"

 

Aku melihat anak gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku berkata pada suamiku, "Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah." Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar anak gadisku menggeliat dari balik selimutnya. Aku mendekati anak gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru saja belajar," jawabku. "Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam  lagi. "Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.

 

*****

 

Banyak dari kita mungkin beranggapan bahwa “mendengarkan” adalah hal yang gampang dilakukan. Padahal sebenarnya, mendengarkan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Bahkan dalam buku Human Communication yang ditulis oleh Tubbs & Moss sebagai buku wajib bagi para mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berisi prinsip-prinsip komunikasi, di bab terakhir dibahas khusus mengenai “Belajar Mendengarkan” atau yang disebut oleh Tubbs & Moss dengan istilah Silent Communication.

 

“Mendengarkan” juga kerap dianggap sebagai hal sepele. Padahal, mendengarkan merupakan bagian penting dari proses pendidikan anak. Anak yang terbiasa didengarkan dengan baik oleh orang tuanya akan merasa dirinya dihargai dan kelak ia pun akan berusaha menghargai orang lain. Selain itu, orang tua yang selalu mendengarkan anaknya dengan baik, akan membangun rasa keterikatan yang tulus dari anaknya. Lebih lanjut, anak bisa benar-benar mempercayai orang tuanya, bahkan menjadikan orang tua sebagai sahabatnya.

 

Seorang anak yang lebih mempercayai orang tuanya daripada orang lain, akan merasa aman  menceritakan secara terbuka tentang segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya kepada orang tua. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi orang tua untuk mengontrol dan mencegah masuknya pengaruh negatif dari pergaulan anak di luar rumah. Oleh karena itu, marilah kita mulai belajar untuk benar-benar mendengarkan anak kita.

 

Untuk menjadi sorang pendengar yang baik, khususnya terhadap anak kita, lakukan hal-hal berikut ini :

  1. Fokus. Ketika anak mengajak berbicara, hentikan kegiatan apa pun yang sedang kita lakukan.
  2. Tatap matanya. Hadapkan tubuh dan wajah kita padanya, tatap matanya.
  3. Jangan memotong pembicaraan. Biarkan ia berbicara sampai selesai. Jangan memotong, jangan memberi saran sebelum diminta. Bila perlu, berilah hanya komentar-komentar seperti: ‘Wow…’, ‘Ooohh…’, ‘Lalu…?’, ‘Mmm…begitu ya?’
  4. Empati. Gunakan bahasa tubuh yang sesuai dengan ceritanya. Contohnya, tersenyumlah bila cerita itu gembira, tertawalah bila ia bercerita sesuatu yang lucu, atau tunjukkan raut wajah sedih bila cerita itu sedih.

 

Selamat belajar menjadi pendengar yang baik..

 

“….setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata,

dan juga lambat untuk marah." (Yak.1:19)

Credit: Image courtesy of Stuart Miles at FreeDigitalPhotos.net