Orang Tua di Mata Anak

Oleh : Grace Kartika

Tanggal Posting : 30 August 2013

Jika kita berbicara tentang anak, spontan terlintas dalam pikiran kita sebagai orang tua adalah bagaimana memahami dan memperlakukan anak-anak kita. Jarang sekali kita menempatkan diri sebagai anak yang melihat sosok orang tuanya. Anak yang bisa kagum atau kecewa, anak yang kadang ingin mendekat atau menghindar, anak yang sewaktu-waktu menurut atau melawan, dan anak yang punya keinginan dan harapan terhadap orang tuanya. 

Sejak lahir anak memiliki hubungan, kedekatan dan kesan pertama yang paling kuat dan istimewa dengan orang tuanya, terutama ibunya. Hingga anak berusia lima tahun, ia merasakan keluarga sebagai dunia satu-satunya. Setelah usia tersebut, barulah anak secara bertahap mengenal lingkungan lain yang lebih luas selain keluarganya. Namun, masa perkenalan anak pada orangtuanya yang singkat ini kini semakin dipersingkat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah usia dini atau tempat penitipan anak-anak batita yang menandai keluarga modern.

Fasilitas yang baik, guru-guru yang ramah, pengasuh yang trampil dianggap sudah dapat menggantikan peran orang tua dalam masa keintiman awal. Padahal rasa nyaman anak mulai disisipi oleh kehadiran tokoh-tokoh baru yang asing dan pola asuh yang berbeda-beda bahkan tuntutan-tuntutan yang belum menjadi kebutuhannya. Anak sejak kecil sudah harus berjuang untuk memenuhi berbagai tuntutan, bersaing untuk mendapat pujian dan penerimaan, dan dipaksa menyesuaikan diri dengan berbagai aturan yang membatasi eksplorasinya.

Budaya pendidikan di luar rumah, yang dianggap bergengsi kini semakin banyak diadopsi oleh para orang tua masa kini. Antara lain karena kedua orang tua ingin bekerja untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Dengan catatan, orang tua menitipkan anak-anak kepada orang lain dan fasilitas yang menyenangkan anak.  

Baru-baru ini ada seorang guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) menceritakan pengalamannya. Betapa terkejut dirinya saat seorang anak batita yang diasuhnya datang lalu menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan kepadanya. Anak itu tidak mau mengerjakan tugasnya, dan ia ingin bermain di luar kelas. Ketika guru bertanya, anak itu mengatakan, “Papa mamaku di rumah juga selalu ‘membayar’ kalau mereka ingin sesuatu.”

Sepintas mungkin kita tertawa karena tampaknya kisah ini lucu. Tetapi mari kita bayangkan apa yang ada di pikiran anak tersebut. Mungkin anak merasa terbiasa dihargai “dua puluh ribu rupiah” sehingga dengan cara seperti itu ia juga menghargai gurunya atau orang lain. Bahasa dan sikap orang tua direkam oleh anak. Masa emas dalam kehidupan anak menjadi terabaikan dan tergantikan oleh nilai-nilai materi sebagai penebus rasa bersalah orang tua.

Anak bukan hanya perlu di-handle dengan sebaik mungkin lalu urusannya selesai. Anak membutuhkan lebih dari sekadar masalah teknis, anak merindukan haknya untuk belajar hidup dari orang tuanya, bersikap dan berjuang seperti orang tuanya, dan mengenal siapa yang menciptakan dirinya dari orang tuanya. Anak butuh pengajaran serta pendampingan moral dan agama pertama kali dari orang tuanya. Karena konsep awal tentang benar atau salah, tentang siapa Tuhan dalam hidupnya seharusnya ia kenal dari orang tuanya. Kurangnya pendampingan dan pendidikan dari orang tua, lalu diisi oleh guru atau pengasuh yang berbeda, akan membingungkan anak dan mengurangi respek anak terhadap orang tua, yang tanpa disadari akan mempengaruhi kehidupannya hingga dewasa.

Memang, masih ada sebagian orang tua yang sangat ketat dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak-anak mereka. Tetapi ada banyak orang tua yang semakin longgar serta abai atau cuek terhadap hal ini. Mungkin golongan pertama berpendapat, orang tua menganggap merekalah penanggung jawab mutlak dalam membangun karakter anak-anak mereka, sehingga harus memperketat rambu-rambunya. Anak-anak hanya boleh mengikuti dan dilarang membantah. Sedangkan golongan kedua berpendapat, orang tua menganggap bahwa setiap anak toh akan bertumbuh secara alamiah, jadi orang tua tidak perlu terlalu mengayomi apalagi mengintervensi kehidupan anak. Anak akan mengenal dan menemukan cara pandangnya sendiri, akan tahu mana yang baik dan jahat dari interaksi dan pengalaman hidupnya. Anak boleh bebas mencari jalan hidupnya sendiri.

Lalu, mana yang lebih baik? Apa yang firman Tuhan katakan tentang pendidikan anak? Melalui Musa, Allah mengingatkan para orang tua bangsa Israel dalam Ulangan 6:7-9, “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu…” Jadi, ada tanggung jawab dan tugas penting yang Allah berikan kepada setiap orang tua dalam hal pendidikan anak. Mengajarkan apa? Mengajarkan tentang tujuan, arah dan rambu-rambu kehidupan. Mengajarkan tentang Allah yang telah menciptakan kehidupan. Ada rencana Allah yang lebih dari cita-cita atau keinginan orang tua. Allah menganggap anak-anak sedemikian penting, sehingga Ia membekali orang tua dengan tugas dan tanggung jawab itu. Mendidik anak bukan hanya dengan otoritas sebagai orang tua saja, tetapi dengan otoritas yang berasal dari Allah. Juga bukan dengan cara membiarkan anak menemukan hidupnya sendiri, tetapi menemukan hidup yang Allah inginkan bagi anak-anak yang dikasihi-Nya.

Anak-anak butuh diajarkan berulang-ulang dan di setiap keadaan. Maksudnya, bukan agar anak-anak tidak lupa, tetapi agar orang tua juga terus diingatkan untuk konsisten dalam pengajaran, keyakinan dan keteladanan. Kata-kata tanpa contoh akan sia-sia, menimbulkan rasa bosan, cuek, tidak patuh, dan keinginan untuk berontak. Didikan yang berpengaruh dalam hidup anak bukanlah nasihat yang bertubi-tubi, namun oleh kisah nyata yang didasari oleh kasih sayang dan penghargaan yang tulus terhadap anak. Anak-anak butuh rasa aman sekaligus rasa bangga di mata orang tua mereka.

Sekarang ini ada banyak anak yang lebih tertarik dengan televisi, film, atau game, daripada mendengarkan orang tua. Salahkah mereka? Bukankah orang tua yang semakin kehilangan pengaruh dan kesempatan untuk dekat dengan anak-anak mereka? Bukankah orang tua juga yang mengizinkan anak-anak menukar rasa nyaman mereka dengan berbagai hadiah hiburan yang difasilitasi orang tua? Sampai suatu ketika orang tua mendatangi psikolog untuk bertanya tentang anak-anak mereka yang sulit dimengerti. Ironis, tetapi begitulah kenyataan yang kita hadapi.

Dan, anak-anak mengakui bahwa mereka kurang mendapat perhatian, kecuali jika mereka berprestasi dan menyenangkan orang tua. Sejak kecil anak-anak telah digiring pada usaha untuk menyenangkan orang tua dan memakai akal mereka juga untuk ‘menipu’ orang tua dengan cara-cara gampang seperti meniru, menyontek atau menyuruh orang lain mengerjakan PR, dan sebagainya.

Bagaimana juga anak-anak yang merasa kurang dipedulikan, kurang dihargai, dapat belajar berdoa, membaca Alkitab dan mengenal Tuhan dengan baik? Hanya orang tua yang respek terhadap anak-anak mereka, yang dapat memberi waktu, keakraban dan mau beraktivitas bersama yang akan efektif mendidik anak-anak. Bangunlah suasana yang menyenangkan, pendekatan yang menarik, misalnya melalui acara tebak-tebakan gambar atau kata-kata, menonton film anak-anak yang bermutu bersama, menggambarkan kembali cerita yang baru didengar, menuliskan hal-hal yang paling berkesan, memperagakan bersama adegan ceritanya dan sebagainya. 

Suatu siang seorang anak teman kami datang ke rumah. Usianya empat tahun. Dia tertarik dengan boneka kura-kura kesayangan anak kami yang ada di kamar. Dengan seru dan gembira ia ngobrol dengan si kura-kura itu. Tiba-tiba nada bicaranya berubah. “Kura-kura, kok matamu cuma satu. Kasihan sekali…!” Anak kami yang sudah lebih besar langsung menjelaskan, bahwa matanya yang satu lepas, dan belum sempat dipasang lagi. Tetapi anak itu berkata, “Bukan, mata si kura-kura sedang sakit, kasihan dia, hu hu huuu….” Lalu ia memeluk si kura-kura, “Nanti kita ke dokter ya, supaya matamu sembuh…” Itulah gambaran dunia anak yang sesungguhnya. Anak belajar berempati terhadap apa yang ia lihat, dengar dan temukan dalam kesehariannya. Ia berbicara tentang rasa lebih kuat daripada fakta.

Karena itu, mengajarkan berulang-ulang tentang kehidupan menjadi sangat penting di usia anak-anak. Ada arti dan pemahaman baru yang bisa terus digali dan diperbincangkan sejalan dengan perkembangan dan pemahaman anak. Orang tua pun siap teruji apakah keyakinan mereka akan goyah atau tetap kokoh sejalan dengan pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak. Seorang anak selalu ingin memandang orang tua sebagai tokoh yang hebat, walaupun tidak sempurna. Dan anak mudah menjadi minder jika tak ada yang bisa ia banggakan tentang orang tuanya. 

Alkitab juga mengajarkan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Ams 22:6). “Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Ams 29:17).

Kedua ayat tersebut menekankan tentang tujuan pendidikan, baik yang menyangkut kepentingan anak maupun kepentingan orang tua. Anak yang dididik dengan baik dan benar akan mempunyai pegangan hidup yang kokoh hingga masa tua, dan juga tidak akan mendatangkan penyesalan bagi orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka. Itulah warisan hidup paling berkesan dan berharga yang tersimpan dalam diri anak-anak. Jangan biarkan anak-anak setelah remaja berkata, “Papa mamaku cuek… Kalau aku lagi senang atau sedih, lagi bangga atau kesel, selalu dianggap hal kecil dan sepele. Mereka cuma bilang capek, nggak mau diganggu…“

Yang lain akan mengatakan, “Papa mamaku sih bebasin aku banget... Apa aja terserah… Kalau aku cerita lagi senang atau kesal, mereka cuma dengerin… no comment-lah. Pernah aku dijahati teman, mereka cuma bilang lapor sama bu guru!” Atau, paling mereka nawarin hadiah atau tambahan uang jajan buat menghibur…” 

Atau, “Papa mamaku penuntut abis… apa-apa pake target dan nilai, nggak mau rugi sampai aku capek. Mereka hanya mau hasil yang bagus.”

Bahkan, “Papa mamaku malahan suka mengejek, mencela, mengancam, atau menghukum kalau aku salah. Mereka cuma ingin anaknya menurut saja dan tidak membantah.”

Sekarang pertanyaannya, sejauh mana prioritas kita, orang tua, dalam pendidikan anak-anak kita? Yesus lahir di keluarga yang sangat sederhana, jauh dari kemewahan. Ia diizinkan Allah dididik dan dibesarkan melalui Yusuf dan Maria sebagai orang tua yang juga sederhana dalam status sosial. Namun Lukas 2:52 menyaksikan, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.”

Semoga, anak-anak yang dipercayakan Allah di tengah-tengah kita juga dapat lebih bertumbuh dan bertambah-tambah dalam pengenalan akan Tuhan dan kasih sayang yang membahagiakan. Selamat Natal.