Haruskah Aku Menjadi Seorang Hedonis?
Oleh : Grace Martina
Tanggal Posting : 06 November 2013

Always see it on TV or
Selalu terlihat di layar televisi atau
Read it in the magazines
Dibaca di majalah-majalah
Celebrities, they want sympathy
Selebriti, mereka menginginkan simpati
All they do is piss and moan
Yang mereka lakukan hanyalah marah-marah dan mengeluh
Inside the Rolling Stone
Di dalam (majalah) Rolling Stone
Talking about how hard life can be
Memperbincangkan betapa beratnya hidup mereka
I'd like to see them spend a week
Saya ingin menyaksikan mereka menghabiskan waktu selama seminggu
Livin' life out on the street
Untuk tinggal di jalanan
I don't think they would survive
Saya pikir mereka tidak akan mampu bertahan hidup
If they could spend a day or two
Jika mereka mau meluangkan waktu satu dua hari
Walking in someone elses shoes
Hidup menurut cara orang lain
I think they'd stumble and they'd fall
Saya rasa mereka akan tersandung dan jatuh
They would fall...
Fall...
Lifestyles of the rich and the famous
Gaya hidup orang-orang kaya dan terkenal
They're always complainin'
Mereka selalu mengeluh
Always complainin'
Selalu mengeluh
If money is such a problem
Jika uang adalah masalahnya
Well they got mansions
Hey, mereka punya rumah yang sangat besar…
Ini adalah sepenggal lirik lagu berjudul “Lifestyles of The Rich and Famous” yang dinyanyikan oleh grup musik rock asal Amerika, Good Charlotte. Lagu ini menceritakan dengan sangat jelas dan eksplisit tentang gaya hidup selebiti-selebriti yang bergelimangan harta dan kemewahan. Bukan hanya selebriti di Hollywood, namun juga selebriti di negara kita sendiri.
Lalu, apakah hanya selebriti yang memiliki gaya hidup seperti ini? Mari kita lihat hasil survey seorang mahasiswa dalam makalahnya yang berjudul “Harga Diri dan Kecenderungan Gaya Hidup Hedonis”. Ia melakukan survey terhadap mahasiswi di Universitas Diponegoro mengenai gaya hidup mereka, dan hasilnya adalah 75% menghabiskan waktu berjalan-jalan di mal, 70% bermain facebook, 77% menonton bioskop, 50% nongkrong di kafe, 13% clubbing, 41% makan fastfood, 20% belanja di butik, dan 11% pergi ke salon, berolahraga dan lain-lain. Hal-hal ini nantinya akan berkembang menjadi gaya hidup materialistis, hedonis, dan pembunuhan karakter pada remaja.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kesenangan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Susanto (2001) menyatakan bahwa atribut kecenderungan gaya hidup hedonis meliputi lebih senang mengisi waktu luang di mal, kafe dan restoran-restoran makanan siap saji (fast food), serta memiliki sejumlah barang-barang dengan merek prestisius.
Gaya hidup hedonis ini memang banyak menghinggapi kehidupan masyarakat kota seperti yang kita alami saat ini. Bagaimana tidak, segala hal yang disebutkan di atas sebagai atribut hedonistik tersedia di kota ini. Sebut saja mal, kafe, restoran siap saji, diskotik, ditambah lagi tuntutan hidup di perkotaan yang menjurus ke arah hedonis.
“Kalau nggak pakai merk ini, nggak keren…”
“Kalau belum cobain makan di resto ini, nggal gaul…”
“Kalau belum pernah ke mal ini sih namanya kampungan…”
“Belum pernah cobain ke diskotik? Wah, anak mama bangeett..”
Siapapun pasti akan merasa panas dan kesal mendengar kata-kata seperti itu terlontar dari orang-orang di sekitar kita. Sasaran utama…? Tentu saja anak muda dan para remaja perkotaan. Begitu pula dengan adanya liputan mengenai selebriti dan gaya hidup mereka hampir setiap jam di saluran-saluran televisi akan secara tidak langsung dijadikan panutan oleh masyarakat. Misalnya saja, di sebuah pasar ada seorang penjual menjajakan barang dagangannya seperti ini, “Silakan dilihat-lihat, Bu… Yang ini baju Syahrini,”. Baju yang dimaksud si penjual adalah baju dengan model mirip seperti yang dipakai oleh artis yang bersangkutan di beberapa acara televisi. Kemudian baju dengan model seperti itu menjadi tren, orang-orang yang menyukai artis tersebut merasa kurang keren jika belum memiliki baju itu.
Menurut survey Nielsen, pada bulan Agustus tahun 2005 menunjukkan 93% konsumen yaitu remaja menganggap belanja ke mal merupakan hiburan atau rekreasi. Mal telah menjadi budaya warga kota, khususnya anak muda untuk menghindari stereotip kampungan (Halim, 2008). Ketika segala atribut hedonisme ini tersedia, sangat sulit bagi masyarakat perkotaan untuk tidak tergiur oleh apa yang hadir di depan mata kita. Akibatnya, gaya hidup hedonis ini menjerumuskan kita menjadi masyarakat yang konsumtif dan materialistis.
Ketika kita menganggap bahwa materi adalah satu-satunya realita dan segalanya di hidup kita, termasuk segala pikiran, perasaan, dan keinginan kita yang mengarah kepada hal-hal tersebut, saat itulah kita disebut sebagai seorang yang materialistis. Sementara itu, konsumtif lebih khusus menjelaskan tentang keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Apakah kita termasuk orang-orang yang demikian?
Baru-baru ini di sebuah pusat perbelanjaan besar di Jakarta diadakan launching sebuah produk telepon seluler secara besar-besaran. Penjual menjanjikan diskon yang juga sangat besar bagi 1000 pembeli pertama. Lalu, apa yang terjadi? Masyarakat menyerbu pusat pertokoan itu dan terjadilah kerusuhan. Beberapa orang bahkan dikabarkan pingsan karena berdesakan dan terinjak-injak. Ketika wawancara dilakukan, ada beberapa orang yang ternyata sudah antri di tempat tersebut sejak malam sebelumnya. Sebesar itukah nilai sebuah telepon selular sehingga orang rela meninggalkan rumah dan keluarga hanya untuk mengantri? Sepenting itukah makna sebuah gadget baru sehingga orang rela menahan panas, lapar, dan lelah hanya untuk mendapatkannya dengan membayar setengah harga? Atau semua itu semata-mata hanya karena keinginan untuk memiliki gadget terbaru agar dianggap keren?
Melihat fenomena masyarakat kota dengan gaya hidup yang seperti ini, siapakah yang paling diuntungkan? Tentu saja para produsen barang yang berjuang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya di tengah liarnya persaingan antar produsen. Suatu keberhasilan yang luar biasa ketika produsen melakukan launching sebuah produk baru dan konsumen rela berdesak-desakan untuk memperebutkan barang tersebut.
Namun, gaya hidup masyarakat kota yang semacam ini menimbulkan dampak negatif ketika kita melihat ke bawah dimana kesenjangan sosial terasa semakin besar, misalnya seperti di kota Jakarta ini. Masyarakat dengan gaya hidup hedonis cenderung menganggap atau menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup mereka dan tidak mampu memikirkan kebutuhan yang akan datang. Mereka memiliki sifat akan membeli semua barang yang diinginkan tanpa memikirkan harga barang tersebut murah atau mahal, perlu atau tidak. Mereka akan mengkonsumsi lebih banyak barang di masa sekarang tanpa memikirkan kebutuhan di masa mendatang. Dan ketika kesusahan atau kekurangan melanda, mereka tidak mampu menghadapinya karena telah terbiasa hidup dalam kemewahan dan kelimpahan.
Memang sulit untuk membendung gaya hidup masyarakat perkotaan saat ini ketika kita sendiri juga ada di dalamnya. Kita hidup dan tumbuh di lingkungan masyarakat kota yang sehari-harinya melihat fenomena ini. Lalu apakah yang bisa menjadi rambu-rambu bagi kita agar tidak terjerumus ke dalam arus gaya hidup hedonisme ini? Yakni, dengan selalu mengingat orang-orang di sekitar kita yang hidup serba kekurangan dan membutuhkan, serta mengingat bahwa kita masyarakat perkotaan mempunyai kasih dan berpegang pada firman-Nya.
“Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankan Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?” (Yak. 2:5).
Ada sebuah lagu yang juga menolong kita untuk merenungkan: “haruskah aku ikut arus menjadi seorang hedonis?”
“O betapa indahnya, hidup kita jalani
Tiada waktu terlewat tanpa bahagia.
Mari lihat keluar, terkadang kita lupa
Kita tak sendiri menikmati indahnya
Hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta…
Bagaimana dengan mereka
Yang menjerit karena lapar
Yang hidup dari belas kasihan orang s’perti kita
Bagaimana dengan mereka
Yang tak punya apa-apa
Apa yang t’lah kita buat
Kar’na kita diciptakan
Untuk berbagi hidup dengan mereka…”
(Bagaimana dengan Mereka, One Way)
Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme
- http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumerisme
- eprints.undip.ac.id/.../Harga_Diri_dan_Kecenderungan_Gaya_Hidup_Hedonis_1
- http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/45-psikologi/276-remaja-dan-perilaku-konsumtif.html
- http://www.thefreedictionary.com/materialistic
Credit: "Image courtesy of jscreationzs at FreeDigitalPhotos.net"