Melawat yang Sehat, Melewat yang Penat

Oleh : Neneng

Tanggal Posting : 06 November 2013

Pengantar:

 

Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah status Facebook seorang kawan: “Waktu jaya, pertolongan apa pun mudah kita dapatkan. Ketika jatuh kok susah ya… Apa memang sudah begitu hukumnya?” Entah hukumnya begitu atau tidak, kenyataannya memang sangat sering terjadi demikian. Namun, sebagai sebuah Gereja, marilah kita melakukan yang sebaliknya, sebab Tuhan menghendaki kita tidak sama dengan dunia.

 

***

 

Setiap menjelang hari raya seperti Natal, Paskah, Idul Fitri atau Imlek, konon para penyedia parcel dan souvenir kebanjiran pesanan. Omset mereka pada masa itu cenderung naik tajam. Mengapa? Tentu saja karena menjelang hari-hari itu banyak orang merasa perlu atau ingin mengirimkan bingkisan kepada orang-orang tertentu, entah saudara, keluarga, kerabat, atau rekan bisnis.

 

Dalam konteks kekerabatan, (saling) memberi bingkisan sebagai bentuk ungkapan perhatian tampaknya masih lebih didasari oleh rasa kasih, simpati, atau bahkan empati yang cenderung tulus. Namun, dalam konteks bisnis, mengirim bingkisan kepada rekan bisnis, tak lepas dari perhitungan bisnis. Mengirim bingkisan kepada rekan bisnis demi membangun dan memelihara hubungan baik antara para pelaku bisnis tersebut atau lembaga bisnis yang diwakilinya, jadi mengandung semacam simbiosis mutualisme. Bila hubungan bisnis berakhir, berhenti pula kegiatan mengirim bingkisan.

 

Kawan saya yang di tempat kerjanya menduduki jabatan penting pada divisi pembelian dan penjualan (sering disebut divisi “basah”), setiap hari raya Natal selalu mendapat sejumlah kiriman parcel. “Rutinitas” itu terjadi belasan tahun selama dia masih aktif. Namun, hal itu tidak terjadi lagi setelah dia pensiun. Bingkisan Natal tidak lagi dikirim kepadanya, melainkan berpindah ke alamat manajer muda yang menggantikan kedudukannya. Kini, pagi hari kawan saya itu sering terlihat lewat depan rumah, menenteng biscuit dan makanan kecil lain yang rupanya baru dibelinya di took ritel di ujung komplek perumahan kami. Kini dia harus berjalan kaki dan merogok kocek untuk mendapatkan makanan ringan yang dulu diantar ke rumahnya dalam jumlah berlimpah dan gratis. Kadang dia juga terlihat duduk di teras rumahnya, pandangan matanya menatap kosong jalan lengang di depan rumahnya…

 

Ujung Tombak Pelayanan Gereja

 

Keadaan di atas dialami banyak orang, bukan semata kisah rekaan. Dari kenyataan tersebut tampak betapa dalam dunia bisnis perhatian diberikan justru ketika orang yang diberi perhatian tidak membutuhkan, masih aktif dan relative bisa mengupayakan sendiri.  Sebaliknya, ketika yang bersangkutan tidak lagi aktif, mulai memasuki suatu keadaan yang relative serba terbatas, perhatian berkurang atau malah tidak ada lagi. Hal ini terjadi karena dasar pemberian perhatian semata perhitungan profit.

 

Dalam lingkup gereja, yang paling dekat dengan urusan perhatian adalah bagian perlawatan. Perlawatan dikatakan sebagai ujung tombak pelayanan gereja kepada jemaat agar sesame anggota merasakan kasih Kristus. Perlawatan adalah wujud penggembalaan dan pemeliharaan persekutuan antar warga jemaat. Melalui perlawatan, gereja mengenali anggotanya. Melalui perlawatan dimungkinkan terengkuhnya kembali anggota yang tampak mulai undur dari persekutuan.Melalui perlawatan, persekutuan dipelihara, dipulihkan dan dikuatkan (lihat Mercusuar edisi khusus, September 2010, hlm. 50).

 

Untuk menjalankan peran itu, bagian perlawatan memiliki seperangkat kegiatan rutin dan nonrutin yang tentunya dikerjakan bukan berdasar perhitungan profit seperti pada dunia bisnis. Sesuai namanya, kegiatan rutin menjadi relative lebih mudah dijalankan karena terus berulang dilakukan. Kegiatan nonrutin – oleh karena bersifat kasuistik –tampaknya lebih membutuhkan kerja ekstra, kejelian ekstra, kemampuan ekstra dan jug ahati yang ekstra bijak, hati yang bersedia merengkuh, bukan hati yang keruh.

 

Perlawatan nonrutin bukan pekerjaan mudah yang dapat begitu saja dikerjakan semua orang, asal mau, asal suka jalan, asal suka berkunjung. Perlawatan nonrutin membutuhkan kemauan hati untuk memahami dan menolong sesame jemaat secara tulus dengan mengesampingkan segala kendala bersifat pribadi, dan berbagai kemampuan termasuk kemampuan menjaga rahasia jabatan (yang sering terlupakan? – red.).

 

Perlawatan Khusus: Jeli dan Bijak

 

Salah satu bagian dari kegiatan perlawatan nonrutin adalah perlawatan khusus. Perlawatan ini khusus diperuntukkan bagi anggota jemaat/simpatisan yang mengalami pergumulan. Karena adanya beban yang sedang dipikul anggota tersebut, selayaknyalah kegiatan ini diberi porsi lebih besar (waktu, tenaga, pemikiran) hingga pergumulan mereda. Bukankah perlawatan khusus memang diberikan agar jemaat tersebut mengalami pemulihan hubungan dengan Tuhan dan sesama?

 

Seperti dikatakan dalam “Pastoral Keluarga” (Mercusuar edisi 21, Juni 2011), jemaat  yang sedang mengalami pergumulan mungkin saja menunjukkan dua macam sikap: menyimpan rapat persoalannya atau meminta pertolongan, maka dibutuhkan kejelian ekstra para “pelayan” bagian perlawatan.

 

Masih dikutip dari tulisan tersebut di atas, perlu pula diingat bahwa mungkin saja jemaat pada awalnya mengatakan tidak bersedia dikunjungi, namun tidak selalu berarti selanjutnya tetap tidak mau. (Bila pernyataan “tidak mau” dikatakan pada saat yang bersangkutan diberitahu akan mendapat perlawatan rutin, pernyataan tersebut sangat mungkin benar adanya sebab memang saat itu tidak membutuhkan perlawatan rutin sekalipun. Pada waktu yang berbeda, keadaan mungkin berbeda pula. Di situlah dibutuhkan kejelian bagian perlawatan – red.).

 

Gereja bukan dunia bisnis. Mari kita memberi ketika sesame warga gereja membutuhkan, bukan memberi ketika kita (juga) membutuhkan mereka. Adalah baik melawat yang sehat, namun lebih perlu melawat yang sedang bergulat dan penat. Sudahkah?

Credit: "Image courtesy of Stuart Miles at FreeDigitalPhotos.net"