PEMBERITA YANG RENDAH HATI

Oleh : Dian Penuntun

Tanggal Posting : 14 December 2014

Yesaya 61:1-4, 8-11; Mazmur 126; Tesalonika 5:16-24; Yohanes 1:6-8, 19-28

Dalam Injil Yohanes, secara kontradiktif, penginjil menghadirkan Yohanes (Pembaptis) sebagai “tokoh biasa” yang berbeda hakikatnya dengan Sang Firman. Melalui hal itu agaknya penginjil hendak mengatakan bahwa Firman yang adikodrati itu memakai manusia kodrati untuk menjadi penyaksi kehadiran-Nya. Manusia itu bukan Firman, bukan sang Adikodrati, bukan Terang, tetapi pemberita sang Terang.

Kesaksian Yohanes (Pembaptis) pada ayat 19 diawali dengan pernyataan “… inilah kesaksian Yohanes…” Jadi, ada dua “kesaksian.” Yang pertama, kesaksian yang Ilahi tentang Yesus, sang Firman. Tentang kesaksian ini Sang Ilahi melalui penginjil menyatakan: Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (1:18).

Yang kedua, kesaksian yang “manusiawi” oleh seorang manusia, Yohanes (Pembaptis). Dalam kesaksian kedua ini yang dipertanyakan adalah diri Yohanes. Artinya, keabsahan diri Yohanes (Pembaptis) dihadirkan. Sebagai saksi, ia memang membutuhkan keabsahan. Dalam rangka itu, penginjil menghadirkan pemimpin agama Yahudi, yaitu Imam dan Lewi. Mereka berdua, mewakili komunitas Yahudi, bertanya: ”siapakah engkau?” Pertanyaan ini bukan sekedar pertanyaan seputar nama, tetapi soal keberadaan atau identitas Yohanes. Dari pertanyaan itu, ada tendensi ”keluarbiasaan” Yohanes (Pembaptis), sehingga mereka menanyakan apakah ia seorang Mesias atau Juruselamat yang dinanti-nantikan. Mesias (dalam bahasa Yunani: Kristus) adalah Yang Ilahi, yang dinanti-nantikan orang Yahudi sebagai penyelamat. Yohanes menjawab, bukan!

Jawaban itu mengundang pertanyaan lebih lanjut. Mereka penasaran, siapakah dia sesungguhnya, apakah ia Elia? Tentang Elia, dikisahkan bahwa ia naik ke sorga dalam keadaan hidup, yang menurut tradisi akan datang kembali. Alkitab juga menubuatkan kehadirannya akan mendahului Sang Mesias. Agaknya, sepak terjang Yohanes – di mata komunitas Yahudi – terkait erat dengan nubuat ini. Jika bukan Mesias, pastilah Yohanes adalah Elia. Yohanes kembali menjawab, bukan!

Tentu saja jawaban itu membingungkan mereka, sehingga mereka kembali bertanya, “Engkaukah nabi yang akan datang?” Yohanes kembali menjawab: bukan. Ia bukan nabi sebagaimana yang diduga oleh mereka.

Orang-orang yang bertanya: ”siapakah engkau?” adalah representasi dari orang-orang Yahudi yang mencari Mesias. Karena itu, tegas sekali mereka bertanya: “Menurutmu dirimu siapa?” Yohanes (Pembaptis) menjawab pertanyaan itu dengan mengutip Yesaya 40:3. Ia mau menyatakan bahwa dia bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa; dia hanya saksi yang memberitakan (berseru-seru) dan mengimani apa yang diberitakannya. Menariknya, meski sebagai manusia kodrati Yohanes (Pembaptis) dipakai menjadi penyaksi atau pemberita sang Adikodrati, ia tidak menjadi sombong. Ia bahkan menilai diri lebih rendah dari seorang budak, sehingga pekerjaan seorang budak seperti melepaskan kasut-Nya pun tidak layak dilakukan olehnya.

Salah satu tindakan Yohanes yang membuatnya tersohor disebutkan dalam ayat 25, yaitu: membaptiskan orang. Baptisan adalah salah satu bentuk ritual penghapusan dosa, karenanya tidak mungkin ”orang biasa” melakukan hal tersebut! Desakan itu membuat Yohanes menjawab: ” Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.” (1:26-17) Dengan jawaban seperti ini, sebenarnya Yohanes mau mengatakan otoritas tindakan membaptis yang dilakukannya berangkat dari perintah Tuhan sendiri.

Kini, saat kita memasuki masa Adven, kita diajak untuk mengingat kembali panggilan menjadi saksi bagi kedatangan Yesus. Namun hal itu tidak untuk membuat kita sombong, atau merasa lebih dikasihi Tuhan dibanding dengan orang lain. Justru, melalui Yohanes (Pembaptis) kita diajar menjadi pemberita yang rendah hati: Menyampaikan Sang Firman yang mulia, namun tetap menyadari bahwa diri kita hanyalah seorang hamba. (

Dian Penuntun

Ed. 19/RYS)