YANG SETIA YANG DIPUJI

Oleh : Yarli Asido Sakti Tambunan

Tanggal Posting : 03 December 2013

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, setia berarti ”berpegang teguh (pada janji, pendirian, dan sebagainya); patuh; taat: bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankannya, ia tetap ...” (http://kamusbahasaindonesia.org/setia/mirip#ixzz2f8eEkA46). Setia merupakan sikap yang berkaitan dengan patuh terhadap subyek tertentu. Kepatuhan terhadap subyek tertentu tersebut dapat disebabkan oleh rasa hormat atau rasa cinta.

Dalam iman Kristen, subyek kesetiaan orang-orang percaya adalah Allah. Orang percaya dipanggil dalam segala kondisi hidupnya untuk setia kepada Allah yang membebaskan, memulihkan dan memberkati hidupnya. Tentu saja, sikap setia itu harus muncul dalam motif hormat, kasih atau syukur kepada Allah.

Namun realitasnya, manusia seringkali mengecewakan Allah karena tidak setia terhadap janji imannya kepada Allah dan ketetapan-ketetapan Allah. Dalam Amos 8:4-7, umat Israel Utara mendukakan hati Allah karena tidak setia dalam hidupnya kepada Allah. Allah merasa seluruh kemeriahan, puji-pujian, dan doa dalam ibadah-ibadah mereka bersifat palsu, karena umat Israel dalam kehidupan sehari-harinya suka berbuat curang, culas dan memeras. Orang kaya memeras orang miskin. Pedagang berbuat curang terhadap pembeli-pembelinya. Umat Israel saat itu menghayati iman ”amfibi” (hidup di dua dunia). Umat Israel menjadi malaikat saat ibadah, lalu menjadi iblis di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, motif ibadah umat Israel saat itu kepada Allah hanya ingin kemakmuran pribadi dari Allah. Umat Israel tidak sungguh-sungguh setia kepada Allah karena hormat, kasih atau syukur kepada Allah. Sebab, jika umat Israel saat itu setia kepada Allah, maka Allah menghendaki mereka juga mengasihi sesamanya, sama seperti kepada Tuhan.

Sama halnya kisah bendahara dalam Lukas 16:1-13 yang berbuat tidak setia, bahkan licik. Bendahara itu tertangkap basah bertindak tidak jujur oleh tuannya. Tuannya memecat dia. Bendahara itu tidak patah arang. Secara kreatif dan lihai, ia mencoba bermanis-manis kepada penghutang agar ia dapat diterima mereka (ayat 5-7). Akan tetapi, motif tindakan bendahara itu dalam menjalin persahabatan tidak tulus. Persahabatan itu tentu saja bersifat semu belaka karena relasi itu hanya didasarkan kepada mamon (materi/uang). Menjalin persahabatan atas dasar mamon (materi/uang) dan kelicikan, maka kita akan menuai persahabatan yang semu.

Sifat tidak setia itu kurang lebih mirip seperti sifat kucing. Ketika kucing diberi makan oleh seseorang, kucing itu akan menjadikan orang yang memberinya makan sebagai tuannya dan bermanja-manja kepadanya. Akan tetapi, ketika tuannya itu khilaf sedikit saja dalam member makan dan ada orang lain yang memberi ia makan, maka kucing itu akan menjadikan orang lain sebagai tuan barunya (Catatan: kepada pecinta kucing, saya tidak bermaksud melarang saudara/i memelihara kucing. Kepada kita semua, saya juga tidak bermaksud untuk membenci kucing sebagai anugerah Tuhan. Saya hanya mengajak sejenak belajar kehidupan dari hidup kucing). Berbeda dengan sifat anjing, ketika seekor anjing sekali saja diberi makan atau diperhatikan oleh seseorang, maka seumur hidupnya anjing itu akan berelasi, menggantungkan dirinya, memercayakan dirinya dan percaya kepada tuannya. Anjing akan mengasihi, menjaga dan patuh kepada tuannya sepanjang hidupnya. Bagaimana dengan manusia? Ah, mahluk yang satu ini kan bukan kucing dan anjing. Mahluk yang satu ini kan mahluk rasional. Jadi, kepada mahluk yang satu ini, kita berikan saja pilihan dalam hidupnya, mau setia atau tidak setia kepada Tuhannya dengan tulus dan tercermin dalam kehidupannya sehari-hari? Manusia sebenarnya tahu kok apa yang harus dipilihnya. Tuhan beserta kita.