JUMLAH UNTUK BERBANGGA, BANGGA UNTUK MENJUMLAH

Oleh : Pdt. Evangeline Pua

Tanggal Posting : 03 December 2013

Saat bercakap dengan beberapa kawan di Sydney dalam situasi yang berbeda-beda, banyak yang suka menanyakan berapa jumlah orang yang biasa diundang hadir dalam sebuah resepsi pernikahan di Indonesia.

Saya menjawabnya dengan turut mengingat berapa orang yang diundang hadir dalam resepsi pernikahan kami di Jakarta, hari Minggu 31 Agustus 2003, juga menceritakan bahwa resepsi pernikahan yang berlangsung di desa atau kampung cenderung dapat lebih besar lagi karena melibatkan hampir semua penduduk setempat. Ratusan undangan bukanlah jumlah yang langka bagi pemilik pesta pernikahan. Namun sayangnya, mungkin masih ada kebanggaan bahwa kesuksesan resepsi pernikahan diukur dari jumlah undangan semata. Semakin banyak yang hadir, semakin bangga keluarga yang mengadakan pesta.

Angka ratusan ini cukup memancing keheranan kawan-kawan tersebut. Biasanya mereka mengundang sedikit orang yang memang dipandang cukup dekat, tidak sampai menembus angka seratus, agar resepsinya terasa akrab, tidak sesak dan bersahabat. Jumlah bukanlah ukuran untuk menentukan kebanggaan atas suksesnya sebuah pesta.

Manakala perjanjian dengan bangsa Israel dilakukan (Keluaran 24:1-11), Allah berfirman kepada Musa agar ia, Harun, Nadab dan Abihu serta 70 dari para tua-tua di Israel naik menghadap lalu menyembah Dia dari jauh. Bukan angka yang menjadi ukuran ketaatan kepada Allah. Angka menjadi penting untuk menandai besar dan kecilnya jumlah sebuah bangsa, atau pun pemimpinnya tetapi hal yang mendorong ketaatan kepada Allah adalah kesediaan setiap individu dan persekutuan untuk hidup di dalam perjanjian Allah.

Ketaatan kepada Allah memanggil kesungguhan setiap kita untuk melakukan kehendak Dia. Menaruh apa yang selama ini paling penting dalam hidup kita seperti kesediaan seorang tentara untuk bertempur demi bangsa, dan meninggalkan keluarganya. Menjunjung apa yang lebih bernilai mulia jauh melebihi nilai rupiah sebesar apapun seperti mama Aleta Ba’un yang berani berjuang demi keadilan akses dan kedaulatan air bagi seluruh masyarakat di kampungnya Molo, Kupang ketika siap digagahi oleh sebuah perusahaan air minum raksasa yang hendak memprivatisasi sumber air di sana.

Ketaatan kepada Allah dijalani sebagaimana teladan sempurna Yesus yang dalam keadaan tidak berdosa rela meneguk air dalam cawan penderitaan demi penebusan dosa seisi dunia. Demikianlah kiranya kebanggaan kita untuk menjumlahkan tanda pertumbuhan iman diukur justru dari seberapa besar kita berani menaruh segala-galanya termasuk mengendalikan semua hawa nafsu dan tabiat yang memuaskan diri sendiri. Dengan semakin kita mampu melepaskan diri dari segala milik kita, ketaatan sebagai murid Kristus akan semakin tampak. 

Image courtesy of Janaka Dharmasena at FreeDigitalPhotos.net