Memberlakukan Sabda Allah dengan Keadilan
Oleh : Yosev Tito Pardede, S.Si (Teol.)
Tanggal Posting : 05 February 2014
(Mat. 5:1-12; Mikha 6:1-8; 1 Kor. 1:18-31; Maz. 15)
Seorang filsuf ateis bernama Karl Marx berpendapat bahwa agama dan gereja sebagai institusinya adalah candu atau narkoba. Agama membius orang-orang miskin, kalah, kelas bawah dalam tatanan masyarakat agar mengalihkan penderitaan mereka ke sorga. Masalah kemiskinan, kesakitan, penderitaan, ketidakadilan itu sendiri tidak terselesaikan, hanya dialihkan saja rasa sakitnya. Karl Marx memandang agama tidak realistis dan tidak relevan.
Pemahaman Karl Marx itu berasal dari pengalamannya sehari-hari melihat kehidupan sosial pada masa itu. Orang kaya dan tuan tanah membonceng agama agar masyarakat kelas bawah tidak memberontak atau menjaga status quo. Gereja dan para pemuka agamawan bertindak tidak adil karena terlalu berpihak kepada masyarakat kelas atas (Karl Marx sendiri berasal dari keluarga kelas atas). Tindakan korupsi, ketidakadilan, pembayaran gaji buruh yang tidak manusiawi, pesta pora yang dilakukan banyak masyarakat kelas atas, gereja membutakan matanya sendiri. Tetapi, masalah kejahatan dan pencurian karena tingkat pengangguran yang tinggi, kelaparan, penyakit karena tidak mampu berobat yang ada di kalangan masyarakat kelas bawah, gereja menjadi sangat sensitif dengan menakut-nakuti soal neraka dan mengiming-imingi kehidupan yang lebih baik di sorga bukan di bumi.
Teguran keras Karl Marx sebenarnya tidak baru juga. Pada zaman Israel Kuno, Tuhan memakai nabi Mikha yang notabene dari internal umat Israel sendiri untuk mengingatkan dan menegur umat-Nya. Terutama para agamawan yang bersekongkol dengan para politisi busuk untuk merampas hak-hak orang miskin dan melakukan kekerasan dengan legitimasi agama. Pada intinya, baik nabi Mikha atau “nabi” modern Karl Marx hendak menyampaikan pesan kepada agama apapun, secara khusus gereja, untuk menjadi solusi bukan analgesik (pereda sakit) belaka, dan adil dengan berpihak juga kepada yang miskin, lemah dan tertindas.
Lagipula, jika kita merenungkan sejenak makna Sabda Bahagia (Matius 5:1-12), Yesus tidak sedang mencandu orang-orang yang miskin, sakit, berduka, kelaparan, tertindas, lemah untuk mengalihkan kesengsaraan mereka kepada Kerajaan Sorga di Sorga. Gereja dan para agamawan yang memahami Sabda Bahagia Yesus secara harafiah akan keliru. Pada saat itu, Yesus bukan hanya sedang menghibur mereka, tetapi visi Kerajaan Sorga-Nya itu adalah perjuangan untuk dihadirkan atau dicerminkan. Yesus sedang menghadirkan visi Kerajaan Sorga itu di bumi. Sesuai dengan doa yang dijarkan Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 6:10, Kerajaan Sorga itu juga harus nyata dan kentara dalam dunia ini. Maka, selain nabi Mikha dan “nabi” Karl Marx, rasul Paulus juga menghibur dan memotivasi kita agar tidak berkecil hati dan malu dilihat seperti orang bodoh dalam memanggul karakter salib (1 Kor. 1:18-31). Yesus sendiri menanggung salib itu demi mewartakan dan menyatakan syalom Kerajaan Allah kepada dunia. Salib itu juga yang akan menjadi kekuatan dan kebanggan kita sebagai umat Tuhan (gereja) dalam menyatakan dan mengabarkan berita sukacita tentang Kerajaan Allah yang penuh Syalom di bumi seperti di sorga. (YTP)
Image courtesy of zole4 at FreeDigitalPhotos.net