IMAN YANG BERJUMPA DENGAN KRISTUS YANG BANGKIT
Oleh : Agus Patmono
Tanggal Posting : 28 April 2014
Kis 2: 14, 22-32; Maz 16; I Pet 1: 3-9; Yoh 20: 19-31
Ketika terjadi peristiwa huru-hara pada tahun 1989 yang lalu, dipicu oleh kejadian yang menyangkut SARA di kota Solo dan kemudian merambat ke kota-kota lainnya. Saat itu, situasi sangat mencekam. Orang banyak yang tidak berani ke luar rumah karena bisa saja dituding dan kemudian menjadi korban kekerasan, bahkan korban tindakan anarkis.
Ketika itu saya sedang berada di rumah indekost di kota Solo dan menyaksikan rombongan massa yang sedang emosional karena terhasut. Bersama teman-teman kost yang lain tentu saja kami tidak berani ke luar rumah, bahkan kami selalu berkumpul di dalam satu kamar dan hanya bisa mendengarkan berita radio atau berita di televisi dengan perasaan yang sama yaitu takut dan cemas karena tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian.
Namun ketika televisi tiba-tiba menyiarkan berita stop press karena adanya instruksi darurat dari Pangkopkamtib yang menyatakan diberlakukannya jam malam dan instruksi ‘tindak di tempat’ bagi si pelanggar, ooooh …. sungguh leganya hati ini dan hilanglah seketika kecemasan yang sangat menekan jiwa kami. Meski baru mendengar berita tersebut dari televisi, namun kepercayaan atas jaminan keselamatan sudah dirasakan kembali.
Bacaan Injil hari ini dari Yohanes 20: 19 kira-kira menggambarkan situasi yang hampir sama, terjadi pada murid-murid Yesus. Setelah ‘peristiwa’ kematian Yesus di kayu salib meski sudah tersebar berita bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, tetap saja murid-murid masih dilanda rasa takut karena intimidasi oleh orang-orang Yahudi, dimana mereka bisa saja dituduh menyebarkan berita bohong tentang kebangkitan Yesus Kristus.
Ketakutanlah yang membuat para nelayan Galilea itu bersembunyi, mereka tidak tahu siapa kawan siapa lawan, maka cara paling aman adalah dengan bersembunyi di ruang yang tertutup. Saking tertutupnya sampai Yohanes pun tidak tahu di mana itu, sehingga ia hanya mengatakan “di suatu tempat”. Dalam kondisi seperti ini, apa yang paling dirindukan manusia? Jelas, sapaan yang menguatkan dan membangkitkan semangat. Yesus tahu bahwa sapaan itulah yang dibutuhkan para murid.
Bersyukur, di tengah-tengah situasi yang mencekam itu, sekonyong-konyong terdengar sapaan “Damai sejahtera bagi kamu!”, dan tanpa diketahui dari mana datangnya, Yesus telah berada di tengah-tengah mereka. Bak angin segar di tengah kegersangan jiwa. Itu saja belum cukup, Yesus pun memperlihatkan luka bekas paku dan tombak di tubuh-Nya. Hal itu sontak membangkitkan ‘gairah’ mereka. Yohanes menyebutkannya sebagai “mereka bersukacita ketika mereka melihat Tuhan”. Sukacita dan pengharapan itu timbul karena mereka melihat Tuhan. Itu pun belum cukup, maka Yesus pun menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus”.
Sayang, Tomas tidak hadir di sana sehingga Tomas tidak ikut merasakan sensasi suasana kehadiran Yesus malam itu. Yesus tidak ingin ada murid yang terhilang karena tidak hadir
malam itu. Maka Yesus pun kembali menjumpai murid-murid-Nya, khususnya Tomas. Tomas yang kurang ‘excited’ hanya mendengar cerita dari teman-temanya, baru akan percaya jikakebangkitan Yesus itu bisa dia alami secara indrawi. Yesus tidak ingin Tomas mati dalam ketidakpercayaannya, maka Ia pun menampakkan diri-Nya pada Tomas. Perjumpaan Tomas dengan Yesus yang bangkit menjawab semua keraguannya, dan menempatkan Yesus menjadi Tuhan dalam diri Tomas.
Murid-murid Yesus dan Tomas mengalami transformasi dalam perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Transformasi diri inilah yang menolong mereka untuk tetap setia dan taat dalam segala situasi, bahkan dalam penderitaan. Tetap memiliki kekuatan dan pengharapan dalam penderitaan inilah yang menjadikan hidup kita tetap bermakna.
Perjumpaan dengan Yesus Kristus bukanlah sebuah peristiwa yang terpisah oleh karena sejarah yang telah berlalu, tetapi terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Hidup sehari-hari kita akan menjadi sebuah proses perjumpaan dengan Kristus yang bangkit ketika setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita menjadi proses yang semakin mendewasakan kita, baik iman kita maupun cara pandang kita terhadap Tuhan, terhadap hidup, terhadap sesama dan terhadap diri sendiri. (AgP)