Iman yang Setia Memelihara Rasa Percaya Kepada Tuhan
Oleh : Yosev Tito Pardede, S.Si (Teol.)
Tanggal Posting : 18 May 2014
(Kis. 7:55-60)
(*Kisah ilustratif dengan sudut pandang orang pertama)
“Jadi saudara-saudari yang terkasih di dalam Tuhan Yesus, kita perlu mencontoh Stefanus yang menjadi martir karena setia kepada Tuhan,” demikian kesimpulan ibu pendeta yang berkhotbah dalam persekutuan karyawan yang setiap Jumaat diadakan di perusahaan saya bekerja. Menurut saya, khotbah ibu pendeta itu bagus sekali. Dia berhasil menyentuh hati saya, membuat saya merasa bangga sebagai orang Kristen dan membakar semangat saya untuk setia kepada Tuhan. Padahal sejujurnya kisah Stefanus sang martir itu menggambarkan suasana yang tragis dan mencekam karena berujung kepada kematian. Tetapi, sekarang saya mengerti martir itu seperti apa.
Saya Riko, seorang pekerja yang bekerja di perusahaan X. Perusahaan X ini milik salah satu orang terkaya di Indonesia. Hanya saja tiga tahun lalu, pemilik perusahaan ini telah Tuhan panggil. Sekarang anak tertuanya mengambil alih posisi bapaknya sebagai pemilik perusahaan ini.
Buat saya, masalahnya terletak pada kepemimpinan anaknya itu. Dahulu ketika bapaknya memimpin perusahaan, bapak itu memiliki kebiasaan disiplin, tegas dan teliti. Karena kebiasaan beliau yang sangat teliti, kami para pekerjanya tidak ada yang berani bermain-main dengan laporan pekerjaan. Laporan pekerjaan, apalagi laporan keuangan, harus dibuat dengan benar, terperinci dan teliti. Namun, peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tidak berlaku kepada anaknya.
Anak tertuanya itu, pemimpin kami sekarang, tidak mau tahu soal-soal detil perusahaan. Bagi beliau, hal terpenting adalah perusahaan bisa menghasilkan keuntungan tiap tahun. Kelemahan cara memimpinnya itu yang membuat belakangan ini banyak pekerja mulai melakukan “mark up” dalam laporan keuangan dan tidak disiplin bekerja alias suka membolos.
Saya termasuk korban dari kepemimpinannya itu. “Hah, mungkin juga karena saya yang terlalu bodoh tidak mengikuti ajakan teman-teman kerja saya untuk melakukan “mark up” laporan keuangan dan membesar-besarkan pekerjaan di hadapan pimpinan agar naik jabatan,” pikir saya. Alhasil, inilah saya, pekerja yang sudah bekerja 10 tahun dengan gaji dan jabatan yang selalu sama. Saya hanya bisa bersyukur gaji saya cukup bagi keluarga saya, bahkan kami tetap bisa menabung untuk masa depan walaupun jumlahnya kecil. Saya percaya Tuhan selalu mencukupkan. Apakah saya seorang martir juga seperti Stefanus yang dikhotbahkan ibu pendeta itu? (YTP)